SEBUAH GUMAM; Diam



Diam itu sebuah isyarat. Ia bisa berarti suka, bisa juga luka yang terpendam. Dengan diam, makna bisa tersampaikan. Di sana menganga sebuah tanya. Dalam masyarakat yang hidup terasing dengan duga-sangka, tidak bisa berdampingan dengan purba-sangka—diam bisa jadi kewajiban. Tapi kadang diam menolak untuk di kekang, ia memiliki batas yang tak pernah jelas; takut bisa jadi berani ketika ia terusik. Pemberontakan kadang lahir dari diam yang berlebih—melalui pembungkaman.
Setiap laku akan melahirkan kata, dan setiap kata bisa berbuah menjadi luka. Ketika diam tak di acuhkan, ditertawakan seperti sebuah lelucon, ia bisa meledak, Sebab diam, adalah suara-suara tak terdengar dari orang-orang yang ingin di dengar. Hanya saja orang-orang itu butuh keberanian untuk menghilangkan ketakutannya. Saya sering mendengar istilah “mayoritas yang diam”, tapi bagaimana kita bisa mengklaim diri sebagai mayoritas ketika kita hanya diam saja? Jika menyimpang sedikit dari kata-kata Stiglitz tentang pasar; “diam hanya salah cara dan bukan satu-satunya cara” untuk berbagi luka—kita bisa menulis.
sumber gambar: Google
Tidakkah kita melihat luka di sebuah masyarakat terpencil dengan jalanan terjauhnya hanya berkisar pada angka 9 KM, lampu yang hanya menyala pada malam hari dan itupun hanya dari jam 18.00 sampai jam 23.00 atau 00.00 malam. Masyarakat itu berbagi luka yang sama. Itu bukan karena tidak adanya diam yang berlebih, hanya saja, tidak ada rangsangan untuk diam itu menunjukkan taringnya. Ketika masyarakat liyan (orang lain yg juga sesama) telah bosan dengan jarak jalan yang melelahkan, cahaya lampu siang-malam yang kian gaduh, masyarakat itu masih saling membalut luka bersama. Hanya bisa diam.
Ketimpangan wilayah kian terasa dalam tubuh masyarakat itu; tapi tawa-canda juga keakraban masih kental dinikmati. Mereka mendiamkan ketimpangan dengan menertawakannya. Mungkin hanya itu obatnya. Sikap “asal menerima” menjadi norma yang di kukuhkan. Perubahan (baca: pengurangan) merangkak sedikit demi sedikit. Bahkan lokasi strategis yang adalah nilai tambah dari wilayah itu tidak pernah di indahkan. Syahdan, masyarakat itu mungkin hanya akan menikmati apa yang ada di wilayahnya sampai akhir—dengan ditanggalkannya harapan untuk memulai kemajuan.
Kemajuan; dalam hal ini adlah pertumbuhan, bisa berarti kemerosotan ketika sudah berlebihan, sebab pertumbuhan kata Jean Baudrillard “adlah fungsi dari kemiskinan, pertentangan di dalamnya akan mengarahkan kita pada kemiskinan psikologis dan kefakiran sistematis”—tapi ketika kemajuan menjadi barang langka yang susah di dapatkan, utamanya ketika kita berbicara tentang wilayah terpencil yg jauh dari akses, maka pertumbuhan bisa berubah menjadi seperti malaikat yg di butuhkan kehadirannya.
Jadi, haruskah ada yg berontak, seperti kata Albert Camus; “saya berontak maka kita ada”, atau menunggu pembungkaman untuk kita berontak?  Ketika keadilan menuntut kesamaan, haruskah perbedaan itu di diamkan?
“Keadilan seringkali harus dipertanyakan kembali.” Kata Goenawan Mohamad




Comments

Popular Posts