Kemah


Sebelum mendengar bunyi pintu rumah terbuka sangat keras, ibunya mendengar orang berlari menaiki tangga rumah panggung mereka yang reot. Ia berlari melewati ruang tamu, melompat-lompat kecil sambil berlari, dan sedikit senyum tergambar jelas di wajahnya.

"Kenapa begitu senang?" tanya ibunya, "Jangan lari-lari dalam rumah! Kau tidak lihat rumah kita sebentar lagi roboh kalo kau terus-terusan lari begitu."

"Saya cuma senang, bu. Namaku masuk daftar orang yang ikut kemah." Ia mendekati ibunya yang sedang memasak makan malam, mengambil bawang goreng yang terselip antara kepala dan ekor ikan kakap di piring di samping ibunya.

"Tapi kau tadi pagi bilang namamu tidak ada di daftar." Kata ibunya sambil terus membolak-balik ikan goreng.

"Iya. Tadi pagi belum. Tapi waktu saya pergi ke sekolah tadi sore main tenis meja, wali kelas memanggil saya dan tanya saya mau ikut kemah atau tidak."

"Memang lokasi kalian persami di mana, sih, sampai kamu segitu senangnya." Kata ibunya penasaran.

"Di kebun milik ibu Tini, wali kelas kami. Dan katanya lokasinya di ujung desa, tidak jauh dari pantai...... Ini, bu." Katanya antusias sambil menyodorkan sebuah amplop, sangat senang, lebih-lebih saat menyebut kata pantai.

"Apa ini isinya" Tanya ibunya, mengelap tangannya di celemek, lalu membuka amplop itu.

"Surat izin orangtua."

Setelah membaca amplop, mimik muka ibunya kelihatan tidak senang. Alisnya turun, dan dahinya mengkerut. 

"Apa maksud dari 'sekolah tidak bertanggungjawab atas kejadian di luar kehendak' ini?"

"Itu makanya ada surat izin, bu. Ah, sudahlah! Tidak usah pikir itu. Yang jelas, ibu izinkan atau tidak."

"Bukannya ibu tidak mengizinkan, tapi baru tahun kemarin kakakmu meninggal dibawa arus. Tahun lalu itu terjadi bulan Januari. Ibu cuma takut terjadi apa-apa ke kamu. Apalagi sekarang juga Januari, dan ombak sedang besar-besarnya sekarang." 

"Tapi saya bisa berenang kok, bu." Katanya agak mulai jengkel.

"Bukan itu masalahnya. Ibu juga tahu kau pintar berenang. Malah kau lebih hebat dari kakakmu. Masalahnya ibu hanya khawatir."

"Ah, ibu. Ibu memang sedikit-sedikit khawatir, sedikit-sedikit khawatir! Kapan aku dewasanya kalo ibu begitu terus."

"Masalah dewasa ada waktunya, nak. Tapi sekarang kau masih kelas 5 SD, dan itu belum waktunya. Paksa dewasa itu tidak baik, anakku." Ibunya mengelus rambut anaknya lembut.

Karena jengel tidak mendapat izin, ia menepis tangan ibunya, berdiri, lalu berlari keluar rumah sambil sedikit menahan air matanya agar tidak jatuh. Tubuhnya yang kecil dan kurus, seperti melayang saat berdiri, ditambah emosinya, ia seperti mendapat kekuatan lebih untuk memberontak menjauh dari ibunya.

"Mau ibu izinkan atau tidak, aku tetap mau pergi!!" Katanya lalu pergi.

**

Anak-anak membangun kemah dibantu wali kelas masing-masing. Lokasi kemah sangat nyaman dan sejuk. Banyaknya pohon kelapa membuat sinar matahari bahkan tidak bisa tembus sepenuhnya ke atap kemah mereka. Sinarnya memang sedikit-sedikit menembus celah-celah daun kelapa, tapi itu tidak seberapa untuk membuat orang-orang di kemah kepanasan. Tempat kemah benar-benar tidak jauh dari pantai. Suara ombak sangat jelas didengar gemuruhnya. Sementara di salah satu kemah, anak-anak kelas 5 B sedang sibuk-sibuknya.

"Kau bikin apa?" ia bertanya pada ketua kelasnya.

"Bikin lampu supaya tidak gelap sebentar malam." Jawab ketua kelas.

"Lha, lampu kok dari minyak kelapa sama kapas. Biasanya orang pakai minyak tanah."

"Ini juga bisa, kok. Kau tidak tahu, ya? Iya sih, kamu kan tidak pernah buka buku kerjinan tangan. Bodoh, hahahaha." Ejek si ketua kelas.

Anak-anak lain pagi sekali sudah pergi mandi. Semenatara ia masih molor. Begitu bangun ia tinggal sendirian di kemah. Ia keluar tenda dan menggosok-gosok matanya mencoba memastikan bahwa ia tidak sedang mimpi. Ternyata tidak. Ia benar-benar ditinggal mandi sendirian. Akhirnya ia duduk menunggu di depan tenda, melipat lututnya, dan melingkarkan tangannya di sana. Sayup-sayup dari kejauhan suara ombak kedengaran. Ia teringat pesan ibunya sebelum akhirnya harus mengizinkannya pergi kemah: "Baik. Ibu izankan. Tapi jangan sekali-kali mendekati pantai, apalagi sampai berenang." Pesan ibunya itu kedengaran sangat nyata, seperti ibunya ada dan berbisik di dekat telinganya langsung.

"Ah, persetan." Katanya sambil berlari ke pantai.

Comments

Popular Posts