Mayat-mayat Hidup


Baru saja sesosok mayat perempuan ditemukan tergeletak di dalam selokan oleh salah seorang warga. Mulut mayat perempuan itu menganga, seperti nyawanya ditarik bersamaan dengan teriakan terakhirnya saat diperkosa. Pakainnya sobek, dan darah mengalir dari pangkal paha sampai ke bawah lutunya.

Tidak lama, sekitar dua hari berlalu setelah kejadian mayat itu ditemukan, pelaku pemerkosaan tertangkap. Sosoknya kurus, memakai anting dengan tatto memenuhi hampir seluruh tubuhnya. Tapi yang paling menarik dari semua gambar-gambar di tubuhnya cuma satu, gambar wajah di lengannya.

Dia ditangkap, tapi tidak dipenjara. Di sini hukuman selain hukum adat tidak ada. Belum lagi sanksi moral seperti tidak dipedulikan, dicemooh masyarakat, atau dianggap binatang sudah lumrah dilakukan saat ada orang berbuat salah. Kesalahan apa pun, dan sekecil apa pun itu tetap kesalahan.

Tiga hari kemudian dia sudah akan dieksekusi. Hukumannya digantung.

Sebentar lagi, tidak jauh dari tempat aku sekarang berdiri seseorang akan kehilangan nyawanya, pikirku. Tentu saja siapapun harus bertanggungjawab atas apa yang dilakukan. Siapapun.

Tapi  bagiku tiang gantungan di ujung tanah lapang sana tidak menakutkan sama sekali. Itu mungkin karena bukan aku yang dihukum. Atau bisa juga karena aku orang yang tidak punya simpati. Tapi siapa peduli? Toh, semua orang di sini kebanyakan hanya senyum-senyum, atau bermuka datar, atau bahkan mengumpat menantikan nyawa seseorang sebentar lagi melayang.

"Dasar bajingan!!! Bangsat!!! Mati saja orang tidak berguna sepertimu!!" Umpatan bertubi-tubi diarahkan padanya.

 Orang-orang ini sama saja seperti mengumpati diri sendiri, pikirku lagi. Buat apa juga mengeluarkan kata-kata sampah itu, sedangkan yang dimaksud bahkan belum di sini.

Beberapa orang meludah berkali-kali ke tanah, juga seorang ibu yang menggendong anak komat-kamit tidak jelas.

"Itu dia datang!!" Terdengar sebuah teriakan dari kerumunan.

Aku melihatnya lebih kurus dari sebelumnya, dagunya runcing, dan matanya tajam seperti mata elang. Aku masih tarpaku pada tatto di lengan kirinya, bergambar anak perempuan dengan mata sayu. Kedua tangannya diikat kuat, sampai-sampai membuat tangannya yang kurus itu kemerah-merahan.

Lelaki dengan tali yang mengikat kedua tangannya itu, sebentar lagi bertemu tiang gantungan dan mencekik lehernya sampai mati, pikirku.

Dia berjalan pelan, tapi didorong berkali-kali agar bergerak cepat-cepat. Matanya seperti kebingunan menatap orang-orang yang mengelilinginya, sekaligus mengantar kematiannya. Ia berjalan sambil terus didorong oleh orang yang memegangnya dari belakang. Mimik mukanya datar bercampur keteguhan yang janggal. Aku tidak tahu apa dipikirannya. Yang aku tahu, sebelum sampai di tiang gantungan, ia menghindari sebuah batu kecil.

Melihat itu, tiba-tiba suatu perasaan besar datang padaku. Aku bisa merasakan hal terakhir yang tersisa darinya--di matanya aku melihat ada harapan untuk ingin tetap hidup. Buktinya ia masih mencoba sebisa mungkin tidak tersandung.

Berapa banyak orang seperti dia? Dari milyaran manusia yang datang dan pergi, hidup dan mati, hal yang diinginkan dan yang tidak pasti ada. Tapi kadang waktu selalu tidak tepat. Maka beruntunglah orang-orang yang hidup dengan baik, bahagia dan mati sambil tersenyum. Seperti dalam dongeng yang kebanyakan punya akhir yang bahagia. Siapapun mau hidup seperti itu. Tapi dia yang mau dihukum itu nyata, dan hidupnya bukan dongeng.

Aku melihat ke arahnya, bersamaan dengan saat dia tiba-tiba menatap ke arah kerumunan tempatku berdiri.

"Lihat mata itu!" bisikku pada diri sendiri. "Itu tatapan penuh harap."

Tapi siapa yang peduli. Dia bersalah, maka harus dihukum. Dan tidak ada hukuman yang lebih pahit selain tidak dipedulikan. Aku rasa setidaknya sudah setimpal hukumannya saat orang-orang ini sama sekali tidak peduli dengannya. Ia akan mengingat wajah datar ini, umpatan, serta beberapa rasa kasihan yang pura-pura ini sampai ke tiang gantungan. Dan jelas, dia akan mati.

Setelah hukuman ini berakhir, orang-orang akan pulang. Lapangan kosong. Dia dikuburkan. Lalu kehidupan berjalan kembali seperti biasa. Sejarah tercatat.

Aku dan semua orang yang ada di sini, masih akan menikmati waktu berkumpul bersama keluarga, pikirku. Makan malam. Tidur. Bangun pagi. Pergi bekerja. Dan terus seperti itu. Sementara tidak jauh dari kami, seseorang sebentar lagi tidak akan bisa merasakan apa-apa.

Lamunanku tiba-tiba buyar saat seseorang mendorongku dan kerumunan penonton menjadi heboh, berdesak-desakkan ingin menikmati menonton hukuman gantung dari dekat.

"Lihat dia!" seseorang di belakangku bicara, "bukankah pantas seorang bajingan seperti dia mati seperti itu? Dia akan masuk neraka. Itu jelas. Dan dengan dosa yang dilakukannya itu, ia lebih pantas mati dalam keadaan tidak diterima oleh langit dan bumi."

"Saya dengar dia punya anak," temannya menyahut, "dan anaknya baru berumur lima tahun."

"Saya sudah dengar itu dari kemarin." sahut yang mengumpat tadi, "Tapi itu bukan alasan untuk memaafkan dosa-dosanya."

"Saya cuma bilang dia punya anak," kata yang temannya lagi, "saya tidak menyuruhmu memaafkan dosa-dosanya. Lagi pula tidak ada hubunganya antara anaknya dengan kita harus memaafkan kesalahannya atau tidak."

"Ya sudah kalau begitu!"

Sejurus kemudian dua orang yang bicara di belakang sejak tadi ini menggesar bahuku dan maju sedikit lebih ke depan.

"Permisi," katanya sebelum mendapat tempat tepat di depan wajahku.

Sial, pikirku. Kalau tidak maju seperti orang lain aku akan kebagian tempat paling belakang, dan aku tidak akan bisa melihat hukumannya lebih jelas.

Akhirnya aku mencoba berusaha maju seperti orang lainnya, ikut berdesak-desakkan dalam kerumunan yang makin menggila ingin menyaksikan hukuman dari dekat.

Barkali-kali kaki diinjak, aku tidak peduli. Bau mulut dari teriakan dan makian dari orang-orang di kerumanan tercium, bercampur dengan bau keringat. Begitu tersangka yang mau dihukum naik ka atas tiang gantungan, keramianan makin menggila, teriakan tidak jelas di mana-mana, sampai-sampai hanya kedengaran seperti dengung mesin kapal.

Aku melihat dalam-dalam ke arah mata laki-laki di tiang gantungan itu, menerka-nerka apa dia akan meneriakkan sesuatu atau tidak. Bisa saja di akhir hayatnya ada nama seseorang, atau pesan yang ingin ia sampaikan. Benar saja, aku lihat bibirnya perlahan bergerak, otot-ototnya menguat, dan urat-urat lehernya menonjol. Aku memasang telinga baik-baik supaya mendengar ucapan terakhirnya di tengah kebisingan sumpah serapah dari kerumunan.

Selain pendengaran aku fokuskan, mataku bahkan tidak berkedip sedikit pun menatap ke arah bibirnya. Jantungku ikut berdebar menunggu apa yang ingin ia ucapkan. Dan tiba-tiba dia berteriak sekeras-kerasnya,

 "Saya tidak bersalah. Saya tidak bersalah. Bukan saya pelakunya. Saya dituduh tanpa bukti."

Sayangnya suaranya tidak terdengar sama sekali. Keributan kerumunan menenggelamkan teriakan putus asa itu. Algojo mendengar, tapi sudah tugasnya untuk tidak peduli, atau bahkan merasa iba.

Sang algojo menarik kepala pria itu, memasukkannya ke dalam tali gantungan, dan mendorong tubuhnya naik ka atas kotak papan yang disediakan tepat di bawah tali itu.

Setelah itu sang algojo menatap ke arah kerumunan, dan mengangguk seperti menerima perintah. Si algojo kemudian menarik kotak di bawah kaki tersangka, kemudian memberi tanda untuk segera menarik talinya lebih tinggi lagi.

Aku lihat kaki pria itu sudah melayang, dan menggoyang maju mandur. Setelah itu aku melihat ke arah wajahnya.

Saat dia tercekik, wajahnya memerah. Ia memegang talinya, lidahnya menjulur. Matanya lebih tajam dari biasanya. Sejurus kemudian nyawanya terbang, hilang bersama peri kemanusiaan. Ia jadi mayat. Semuanya.

Sampai sekarang aku tidak tahu dia bersalah atau tidak, dan tidak ada yang tahu pasti. Tapi kebenaran yang dipegang masyarakat untuk menuduh dia bersalah jelas dari penampilannya, dan juga kenyataan bahwa dia tidak pernah kelihatan beribadah.

Comments

Popular Posts