Akar Rumput

Photo: Andi Sultan

Apakah hal yang dianggap benar dalam masyarakat harus butuh afirmasi mayoritas baru hal tersebut dianggap benar?

Tadi saaaya bangun pagi pagi sekali, hampir hampir bersama dengan adzan subuh berkumandang. Saya juga tidak tahu kenapa, tapi saya sudah tidak bisa tidur setelahnya. 

Setelah betul betul sadar saya sudah tidak bisa tidur lagi, saya mulai merapikan tempat tidur. Saya menyusun bantal kusut yang sudah melempem, mirip pisang yang kematangan akibat kelamaan disimpan. Selesai menyusul guling dan bantal tidur, saya duduk sejenak menghadap kiblat, menutup mata, berusaha mengumpulkan tenaga buat bangkit berdiri. Saya sudah seperti orang bermeditasi. Selang beberapa menit, dan tenaga sudah ngumpul, saya berdiri dan berjalan ke kamar mandi. 

Mungkin karena sudah kebiasaan mandi pagi pagi, saya jadi tidak merasa dingin sama sekali saat mandi. Meskipun dari semalam udara di luar begitu dingin karena habis hujan semalaman. Sekitar sepuluh saya di kamar mandi. Keluar dari kamar mandi saya langsung mengambil sarung sholat warna putih di atas tumpukan lipatan baju, mengambil baju yang masih bersih di gantungan baju di balik pintu dan beranjak sholat subuh. 

Selepas sholat subuh saya berganti pakaian untuk berjalan-jalan. Di jalan saya melewati etalasi kue yang menggugah selera, tong tong sampah berjatuhan di tepi jalan, bapak bapak pengumpul dos bekas, dan dua orang suami istri yang membersihkan jalanan. Udara sejuk pagi hari menyeruak masuk tanpa permisi ke dalam ingatan. Hal-hal seperti ini bisa saja kita rindukan kelak. Dan memori sudah pasti menyimpannya di perpustakaan ingatan.

Saya melihat bangunan tua terbengkalai, seperti nenek tua kesepian dan terlalu lama tidak dijamah. Jalanan di dekatnya juga mendukung kesan itu. Melihatnya, ingatan saya ditarik puluhan tahun ke belakang, ke masa masa penjajahan kolonial. Saya bertanya-tanya, apa mungkin jalan dan bangunan ini sudah sejak lama ada?

Setelah mengambil foto jalan dan bangunan tersebut, saya melanjutkan jalan jalan pagi. Beberapa meter dari jalanan dan bangunan tadi, ada tanggul yang memisahkan jalan raya dengan pantai.

Foto: Andi sultan

Saya berhenti sejenak di situ. Di situ saya menemukan tumbuhan liar yang sangat estetik, dan saya mulai mengambil gambar. Ketika saya mengambil gambar tumbuhan tadi, seorang bapak--yang mungkin juga sedang jalan jalan pagi, saya tidak tahu dan tidak mau tahu-- menertawai saya karena melihat saya mengambil gambar tumbuhan liar. Sekilas saya menangkap dia sedang menertawai saya seperti mengejek. Mungkin dianggapan dia, mengambil gambar tumbuhan liar suatu kegiatan sia-sia yang tidak ada faedahnya sama sekali.

Anehnya saya tidak marah sama sekali saat menangkap bapak itu menertawai saya. Saya kasihan. Orang-orang seperti bapak ini salah satu ciri umum masyarakat kita. Mereka orang-orang yang melihat sesuatu dari kulitnya saja, melihat permukaan. Mereka orang-orang yang tidak mau tau tujuan dibalik sesuatu, dan hanya menerima seperti kerbau dicocot hidungnya. 

Sifat semacam ini jelas bakal terbawa ke kehidupan sehari-harinya. Dalam hal penerapan aturan baru di lingkungan tempat tinggalnya misalnya, orang-orang seperti ini, jelas akan mengikut begitu saja tanpa bertanya maksud dan tujuan aturan baru itu dibuat. Tidak ingin tahu untungnya bagi mereka apa. Yang jelas ikut saja. Gak usah bertanya macam macam.

Pada akhirnya, tanpa sadar, mereka hanya dimanfaatkan oleh sistem. Dan memang, masyarakat kita senang mengikut suara mayoritas dan rela kehilangan jati diri. Tidak usah menganalisa wajah bangsa secara keseluruhan. Cukup lihat dari di sekitar kita. Dan kita akan menemukan begitu banyak hal tidak wajar dianggap biasa saja di kalangan akar rumput.

Terakhir, saya cuma mau bilang, foto yang saya ambil dan ditertawai bapak tadi, saya edit dan ikutkan lomba. 

Comments

  1. Terus nulis ya kak.... Suka bangat sama tulisan² kakak....

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts