SEBUAH GUMAM; Di pantai



Di laut, ketika malam tiba, ada kesejukan yang berbicara dalam iramanya sendiri. Ia sebuah penolakan akan kegaduhan yang kian---tak pernah bisa diam. Ada ritus yang membudaya; antara laut dan malam hari—juga kesejukan. Di bawah kolong langit, semuanya kian mesra. Di samping itu, ada aku yang duduk sendiri menikmati laut yang begitu mempesona di malam hari. Aku di pantai sendirian menatap lampu kedip di atas perahu-perahu yang keletihan. Lampu-lampu itu jadi isyarat, bahwa ada tubuh yang menikmati jeda setelah seharian di jalankan oleh mesin diesel. Bersama perahu-perahu itu, aku seperti menemukan percakapan yang syahdu. Mereka seakan berbicara padaku dengan bahasa-bahasa yang tak aku mengerti. Ada pergulatan yang membatin dalam diriku dikala melihat perahu-perahu yang keletihan itu. Aku digiring pada sebuah tanya; ” Tidakkah mesin-mesin juga ada dalam diriku? ” dalam wujud yang aku sebut hasrat, dengan tujuan akan pencapaian untuk  “punya” ?
Sepersekian menit aku tenggelam dalam pertanyaan-pertanyaan yang membuatku mati kutu--yang dimana, jawaban-jawabannya tertuju pada ihwal yang menyudutkanku sendiri sebagai mahkluk yang tak luput dari hasrat—aku mengambil rokok yang aku beli di warung pinggir jalan dalam perjalananku menuju ke pantai tadi. Aku mencabut sebatang dari bungkusnya, membakarnya, lalu menghembuskannya ke langit dengan pongah. “Ah, sungguh nikmat.” Gumamku dengan nada yang congkak.
Diatas pasir dengan sisa-sisa kulit kerang yang berserakan dan hampir memenuhi seperdua bagian kulit pantai, di bawah langit dengan cahaya bulan yang memantul hingga menampakkan bayangan ufuk yang samar-samar, aku juga membayangkan tentang biota-biota laut. Tentang bagaimana ekosistem dalam keseimbangannya membentuk lingkaran rantai makanan; dimana saling makan-memakan adalah sebuah tuntutan yang tak bisa di bantah. Terbayang betapa ngerinya menjadi ikan kecil yang hidup dalam ketakutan, yang hanya bisa bergantung pada makanan, yang untuk mendapatkannya, harus bertaruh dengan nasib—menyambung hidup yang kadangkala harus juga rela menjadi santapan penyambung hidup ikan-ikan yang lebih besar. Ada satu hal yang tersirat dalam kesenduan perenunganku tentang ekosistem bawah laut. Diatas; yakni di darat, tempat manusia-manusia menetap—entah hidup sendiri atau berkelompok—juga ada siklus hidup yang saling makan-memakan. Hanya saja, didaratan tidak mengandalkan ukuran tubuh atau gigi yang bergerigi. Siklus hidup di daratan ditentukan oleh sesuatu yang di sebut MODAL.
Dunia daratan sama seperti laut--penuh misteri. Ketidakpastian selalu menunjukkan keangkuhannya. Aku bersama nasibku menelurkan tanda tanya, aku hanya tinggal menunggu ditelan mentah-mentah oleh kehidupan. Sebuah kuasa selain tuhan, yang tak aku tahu tempat dan asalnya telah mengendalikan semuanya, yang tentu saja, itu pengaruh dari “modal”. Aku hanya bisa memelihara ketakutanku akan hidup yang tak pasti—sebab yang pasti hanyalah, kita akan mati.
Sekian lama tak beranjak dari tempat aku duduk dan larut dalam lamunan, waktu ternyata juga semakin larut. Aku kemudian berdiri untuk beranjak pulang kerumah.
“Andai saja dunia tanpa misteri dan tanda tanya, masihkah hidup memiliki dirinya sendiri ?
“Adakah hidup yang tanpa tanda?
“Mungkinkah ada hal lain yang terjadi ketika semua dipenuhi kepastian, Hingga kita tak tak usah lagi makan-memakan hanya demi kepentingan dan keuntungan.? “ gerutuku sambil berlalu.

Comments

Popular Posts