Dalam kebisuannya, kenangan mengukuhkan
diri. Ia sebuah penanda, bahwa peradaban, segencar apapun saling
serang-menyerang, saling meroboh-runtuhkan, tak akan mampu membuatnya terhapus
dengan mudah. Ia sebuah riwayat, bagi yang merawatnya. Dalam keterbatasan
pengingatan kita, pengalaman menawarkan kesan tentang bagaimana alam mengamati
tingkah laku kita. Dengan kenangan kita di tuntut untuk kembali mengingat,
tidak hanya saja tentang indahnya masa kecil yang merekat, tetapi juga tentang
budaya yang tergerus. Kita sudah banyak mengetahui bahwa dalam setiap peradaban,
untuk berkembang—mau tidak mau—harus meruntuhkan peradaban yang mungkin saja
telah mapan selama ratusan atau bahkan ribuan tahun. Tapi, tetap saja,
peradaban tidak akan mampu menghapus kenangan. Sebab Ia jadi sejarah. Meskipun
dalam sejarah itu, hidup untuk saling menjarah agar dapat bertahan, tidak dapat
di sangkal keberadaannya. Saya ingat ketika masih kecil dulu (di era 90-an),
saya begitu akrab dengan khayalan—atau mungkin impian—tentang menjadi raja
dengan memperebutkan sebatang pohon kelapa yang telah di tebang menyerupai
singgasana, saya harus berebut itu dengan teman yang juga memiliki khayalan
yang sama dan kami menangis bersama-sama karena tidak ada satupun yang bisa
duduk diatas singgasana khayalan itu, sungguh konyol. Dulu, kompetisi adlah
jalan bagi kita untuk saling menunjukkan keakraban. Kita tidak melihat ambisi.
Emosi tercipta dengan gairah yang hanya bisa di hentikan oleh senja yang hilang
disertai adzan magrib yg berkumandang. Itu masa ketika Adam Smith, bapak
ekonomi modern yang termahsyur itu, dengan teorinya bahwa; “Dalam kompetisi,
ambisi individu menguntungkan orang banyak”, belum terintegrasi. Sekarang, integrasi
itu mulai nampak. Dunia modern datang dan merenggut manisnya pertalian dan
keakraban yang tidak biasa itu. Kita lihat di era sekarang, anak-anak saling
berkompetisi untuk mendapatkan permainan-permainan unik dalam
smartphone-smartphone canggih yang tidak hanya mengukuhkan egoisme, tetapi
juga—dalam tahap yang memprihatinkan—merawat kesombongan.
|
Gambar: Pulau Bonerate |
Dalam hidup, kita memang harus
akrab dengan perubahan. Seperti kata Rabindranath Tagore, “setiap hari adlah
perubahan, dan pagi, bukanlah rangkaian repetisi” ; tetapi kadang kita butuh
repetisi. Bukan dalam wujud mengulang kembali kejadian masa silam secara
praktis, tetapi dalam ingatan, sebagai sebuah kenangan bahwa kita, dimasa lalu,
pernah memiliki keutuhan diri kita—masa ketika benda (baca:
mesin/tekhnologi)
belum dipertuankan. Apa
yang akan dilihat oleh generasi mendatang, katakanlah 50-100 tahun kedepan,
ketika yang kokoh tidak lagi identik dengan pohon, gelap tidak lagi dalam
wujudnya sebagai malam, dan yang merambat tidak lagi menghijau; yaitu masa ketika
bangunan megah, cahaya yang gaduh, dan kabel-kabel merenggut dan mengubah alam
mereka? Mungkin saja, “asing” adlah kata
yang akan terlontar dari mulut dan terpatri
dalam hati generasi yang akan datang. Yang asing dan usang telah berdiri tanpa
jarak—ada pengukuhan akan hilangnya kebebasan. Syahdan, akan ada masa ketika
wisata tidak lagi hadir bersama tujuan menikmati panorama dengan wangi embun
pegunungan atau menikmati pantai dengan suara ombak yang penuh syair; tubuh
hanya akan menjiwa di mall dan pusat-pusat perbelanjaan, dengan pemandangan parfum-parfum
dalam etalase kaca, “yang lebih indah di pandang mata daripada dicium baunya”
kata Goenawan mohamad—bisikan modernitas akan menawarkan diri melalui
suara-suara dalam bentuk visual, juga syair dengan irama yang terbentuk oleh
gengsi.
Untuk
itu, Kenangan setidaknya harus bisa kita jaga, untuk kemudian jadi sejarah.
Masa kecil beserta budaya-budayanya yang masih melekat dalam ingatan harus di
simpan baik-baik, sebab ia adlah “bayang-bayang keabadian” kata Toynbee. Masa
lalu dan masa depan itu hidup berdampingan, keduanya berada di dalam diri
bersama kita sendiri sebagai pelakonnya. Maka dari itu, mari kita merawat
sekaligus mengadopsi, tapi tidak sepenuhnya. Tidak harus utuh.
Comments
Post a Comment