Penolakan


"Sudahlah, jangan buang waktuku dengan pertanyaan basa-basi bodohmu itu. Aku sedang pusing sekarang.  Cepat berikan kembalianku sebelum kau dilarikan ke rumah sakit."

Di seberang jalan, dari warung tempatku membeli minuman dingin, aku melihat seorang perempuan berdiri sambil sekali-kali menoleh ke kiri dan kanan. Ia mengenakan pakaian merah nanggung yang bahkan tidak sampai menutupi lututnya, lengkap dengan motif bunga-bunga menyilang dari bahu sebelah kanan melewati payudaranya yang ranum ke arah pantatnya yang bahenol. Perempuan itu begitu cantik, meski di bahunya ia menenteng tas KW salah satu brand ternama luar negeri.

Suasana jalanan kota besar ini saat dini hari memang agak berbeda. Kendaraan tinggal satu dua yang lewat. Belum lagi tempatku tinggal terkenal rawan jambret dan pemerkosaan. Bahkan minggu lalu di lingkunganku baru saja terjadi penggerebekkan. Seorang teman ngumpulku baru saja ditangkap karena kasus penjambretan. Aku juga heran, kenapa orang-orang seperti kami begitu cepat tertangkap dan dipenjarakan, sementara para birokrat perlu waktu berbulan-bulan bahkan tahunan baru resmi jadi tersangka. Tapi itu tidak penting, pikirku. Yang lebih penting sekarang aku harus pergi menyapa perempuan di seberang jalan sana.

"Apa yang dilakukan perempuan cantik tengah malam begini?" Sapaku sambil membakar sebatang rokok.

Perempuan ini tidak menjawab. Ia hanya sebentar menoleh ke arahku, memberiku tatapan kesal sekaligus takut, dan sedikit menampakkan rasa jijik di raut wajahnya saat melihatku. Maklum, penampilanku memang berantakkan. Aku ingat tadi pagi tidak sempat mencukur jenggot dan brewokku, ditambah lagi rambutku yang panjang keriting tidak terawat dengan baik.

"Mau ke mana, mbak?"

"Mas jangan macam-macam, ya!!" Perempuan itu berjalan sedikit menjauhiku.

**
Sudah lebih sejam aku berdiri menunggu tidak jauh dari perempuan itu, sama-sama mematung, mirip lampu jalan yang membatasi tempat kami berdiri masing-masing. Dalam suasana canggung itu, ia sekali-kali menoleh ke arahku, seperti berjaga-jaga jangan sampai aku macam-macam padanya.

"Ini sudah larut malam, mbak. Sudah hampir pagi malah. Tidak baik perempuan keluar malam sendirian." Aku memecah keheningan.

"Justru lebih tidak baik kalo mas terus berdiri di situ." Katanya sinis.

"Aku tidak punya maksud jahat kok mbak."

"Maaf, ya mas. Siapapun akan berpikiran sama sepertiku melihat penampilan mas seperti itu."

"Apa yang salah dari penampilanku, mbak."

"Semuanya."

Tiba-tiba suara ngaji dari mesjid memotong sejenak pembicaraan kami.

"Begini saja, mas. Dari tadi di sini saya menunggu jemputan. Tapi saya pikir suami saya tidak datang. Daripada kelamaan saya di sini sama mas, dan juga waktu sholat subuh sudah hampir tiba, lebih baik saya pulang jalan kaki saja."

Aku melihat perempuan itu berjalan buru-buru meninggalkanku sendirian di bawah lampu jalan, di depan rumah pijat. Pantatnya yang bahenol menggoyang naik turun, mengundang birahi siapa pun yang melihatnya.

"Syukurlah hari sudah hampir terang." Aku berbalik ke arah yang berlawanan. Sehabis pesta miras dengan kawan semalam tadi, membuat jalanku tidak seimbang. Dan kepalaku masih saja terasa pusing.

Comments

Popular Posts