Pertengkaran


Aku sedang di dapur memasak saat tiba-tiba sebuah teriakkan menyebut-nyebut nama suamiku sangat keras dari pintu masuk rumah.

"Kau pasti istrinya. Mana suamimu? Bajingan itu meninggalkanku setelah semua aku berikan padanya!!"

"Dia belum pulang." Aku mencoba menahan untuk tidak emosi begitu saja. Aku tidak tahu masalah apa lagi yang menimpa keluarga kami setelah sebelumnya kasus perjudian mengantar suamiku ke penjara selama beberapa bulan. Dan belum genap dua bulan dia bebas, ada lagi yang datang mencarinya, mungkin sekedar meminta penjelasan tapi dengan nada yang kurang bersahabat.

"Cepat beritahu aku sebelum aku panggil polisi ke mari. Aku tahu kau pasti menyembunyikannya. Kalian pasti sudah bersekongkol." Katanya menuduhku, menunjuk ke arahku dengan muka yang memerah. Keringatnya sampai-sampai membasahi hampir seluruh tubuhnya, memberi kesan padaku bahwa sekarang keluarga kami sebentar lagi akan menghadapi masalah yang lebih besar dari sebelumnya.

"Tapi aku benar-benar tidak tahu di mana dia sekarang."

"Kalo begitu coba telepon. Tidak mungkin kau tidak punya handphone." Suaranya semakin keras dengan mimik muka melecehkan. 

"Aku tidak tahu apa yang sudah suamiku lakukan pada anda. Tapi sebaiknya kita duduk dulu dan bicarakan ini baik-baik." Aku mencoba tetap sabar.

"Tidak. Aku hanya ingin tahu di mana keberadaan suamimu sekarang. Setelah semalam meniduriku di kamarku sendiri, dia membawa lari semua perhiasanku. Bajingan kurangajar itu hanya meninggalkan celana dalamnya di laci tempat semua perhiasanku disimpan."

Mendengar perkataannya darahku tiba-tiba mengalir naik ke kepala, dadaku serasa sesak, nafasku tersengal-sengal, dan aku seperti merasakan sengatan listrik mengalir ke seluruh tubuhku. 

"Jadi kau selingkuhan suamiku?" Aku menanggalkan semua kesabaran yang sejak tadi aku kumpulkan, mengabaikan emosi iblis wanita jahannam yang tanpa malu berdiri arogan di depanku sejak tadi ini.

"Itu tidak penting. Yang terpenting sekarang, aku hanya ingin tahu keberadaan suamimu."

"Bagaimana mungkin itu tidak penting?! Kau datang ke rumahku sambil teriak-teriak, membentakku dengan keras, menuduhku menipu tanpa bukti yang jelas, kemudian mengaku ditiduri suamiku. Kau pikir wanita mana yang begitu baik melepaskan begitu saja seorang pelacur sepertimu!!" Tiba-tiba air mataku jatuh begitu saja. Emosiku meluap-luap. Dan Suaraku tidak kalah besarnya dengan teriakkan wanita itu sewaktu pertama kali menginjakkan kaki di pintu masuk rumahku.

Mendengar teriakkanku, para tetangga langsung berbondong-bondong mendatangi arah datangnya suara. Aku sebenarnya agak malu karena ini aib. Tapi aku sudah tidak peduli semua itu. Yang kupikirkan sekarang hanya harus meminta penjelasan kepada wanita terkutuk di hadapanku ini. 

"Sekarang jelaskan dulu padaku di mana anda bertemu suamiku, dan mengapa sampai rela ditiduri laki-laki yang sudah beristri? Apa anda memang sudah sejak lahir serendah itu?"

"Hei wanita sialan!! Kau jangan memutar arah pembicaraan, ya! Di sini aku yang jadi korban. Suamimu telah mencuri semua perhiasanku. Bahkan cincin kawinku tidak lepas dari jarahannya." Dia mendorongku. Aku terjatuh dan kepalaku terbentur ujung meja di ruang tamu rumah kami.

Setelah semua itu, aku tetap mencoba bangkit. Aku rasakan kepalaku agak basah, darah mengalir di pipiku, melewati dagu, kemudian jatuh di atas karpet yang baru aku beli minggu lalu.

"Berani-beraninya kau mendorongku!"

"Itu belum seberapa. Aku bahkan bisa melakukan lebih dari sekedar mendorongmu seperti tadi. Sekarang katakan di mana suamimu?!!"

"Kau memang tidak tahu malu." 

"Kalian yang tidak tahu malu. Dasar pencuri!!" Dia lagi-lagi menuduhku.

"Segera angkat kaki anda dari rumahku sebelum aku membalas dan bertindak lebih dari yang anda lakukakan padaku." Tanpa sadar aku sudah memegang sebilah parang. Aku tidak tahu sejak kapan parang itu aku pegang, bahkan tidak ingat kapan aku berlari ke dapur mengambil parang ditanganku ini. 

"Tunggu saja. Aku tidak akan melepaskan kalian begitu saja." Dia menunjukku sambil berbalik, berjalan keluar meninggalkan rumah kami.

Setelah dia sudah tidak nampak, aku menutupi wajahku dan menangis sejadi-jadinya. Para tetangga juga sudah terlihat satu pun batang hidungnya, membubarkan diri bersamaan dengan perginya wanita jahannam itu. Sementara sedang menangis, samar-sama aku lihat suamiku berjalan ke arah rumah kami, di tangannya ia memegang kantongan plastik hitam. Pisau masih tergeletak di sampingku.

"Kenapa kau menangis? Sudahlah, jangan menangis! Ini aku bawakan martabak kesukaanmu." Kata suami datar. Seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

Comments

Popular Posts