Catatan Perjalanan: Melihat dari Dekat


Hari ini saya pulang kampung. Setelah dua tahun tidak pulang, saya pikir ini sudah cukup lama untuk dikatakan sangat baik sebagai usaha melepas rindu.

Di perjalanan saya melewati hamparan sawah, petani sedang membungkuk, mungkin lagi menanam padi. Di samping kanan mobil seorang bapak sedang mengayuh becak, di belakangnya mobil pribadi dan truk berusaha mendahului. Saya melewati rumah-rumah warga, lalu mesjid, dan rumah makan. Seorang ibu sedang menjemur pakaian di samping rumahnya, sambil mengawasi anaknya di serambi rumah dari tanah.

Saya lihat juga tugu perbatasan dusun-dusun. Melihat itu saya merasa tugu itu tidak hanya jadi batas dusun, tapi juga batas kebudayaan dan tata krama masyarakat. Seperti ini jadi tanda otorisasi tidak bisa cuma dilihat dalam lingkup yang lebih luas. Bahwa dengan menengok tatanan terbawah sebuah masyarakat, otorisasi juga berlaku. Ini mengukuhkan dari awal, dari yang paling dasar, keangkuhan primordialisme.

Jauh dari perbatasan dusun-dusun tadi, ada makam pahlawan. Rumah-rumah warga diapit di tengah antara makam dan kantor pemerintahan daerah. Tidak jauh dari sana ada patung pahlawan perempuan, letaknya di tengah taman dengan bunga-bunga warna pink. Posisi bunga-bunganya saling berdekatan dan jika dilihat dari tengah jalan, secara samar-samar menutupi bagian pipi patung pahlawan wanita tadi. Saya tidak tahu nama pahlawannya, mungkin tokoh pejuang daerah, daerah yang saya lewati.

Cukup lama duduk sambil menikmati pemandangan luar dari dalam bis, mata saya jadi terasa berat. Belum lagi lagu yang saya dengar pake earphone, begitu mendayu-dayu. Saya tertidur. Bangun-bangun saya sudah sampai di perbatasan daerah kabupaten lain. Dan lagi, pemandangan  yang sama seperti sebelumnya saya lihat; petani di sawah, rumah-rumah yang saling himpit, orang menjemur pakaian dan para keluarga yang lagi duduk di serambi.

Saya pikir adat dan tata krama masyarakat dari tiap daerah berbeda bisa beda, tapi tidak menutupi perilaku sehari-hari yang sama. Pada dasarnya sebagai manusia memang begitu, tapi sebagai masyarakat aturan harus berlaku. Mungkin cara masuk rumah satu daerah dengan daerah lain beda karena pengaruh budaya dan tata krama yang berbeda. Tapi untuk tersenyum tetap sama, tetap memperlihatkan gigi. Juga berjabat tangan.

Sebagai manusia dan invidu, jabat tangan jadi tanda kesetaraan. Terjun ke masyarakat jadinya beda lagi. Perlu ada hal-hal seperti membungkuk, menghormati yang lebih tua, dan banyak aturan lain. Itu kalo masyarakatnya bukan masyarakat urban, masih sesuai adat kedaerahan. Kalo di kota adat istiadat sudah tidak kental lagi, sudah agak mencair. Makanya dalam menentukan strata tertinggi di kota dengan uang, jarang aturan adat. Bahkan hampir tidak ada.

Perjalanan pulang saya kali ini saya pikir tidak hanya melewati macam-macam daerah, saya melewati sebuah peradaban. Biar tidak secara utuh, paling tidak saya lihat potongannya. Seperti sebuah cermin, peradaban harus dilihat dari dekat biar jelas. Agar tidak buram.

Comments

Popular Posts