Cerita Fiksi: Menunggu Cahaya itu Datang


Setiap hari berlalu tanpa ada hal yang istimewa. Matahari sejak pagi muncul, dan waktu terus berjalan seperti biasa. Sangat biasa. Kecuali kenyataan bahwa panasnya matahari saat siang membuat orang-orang harus sudah mencuci pakaian sejak matahari mulai terbit, membuat mereka kewalahan saat cuma bermalas-malasan dan harus mencuci baju ketika matahari sudah hampir terbenam.

Sinar matahari terbit dan terbenam. Cahaya kehidupan benar-benar tidak jauh dari manusia. Dua orang suami istri ini mengerti betul keadaan itu. Tapi mereka memilih mengabaikannya terlalu lama.

“Saya pikir sampai besok pagi cucian kita tidak kering, pa.” Istrinya sedikit menyesal.

“Kupikir juga begitu. Mama yang salah, sejak pagi kerjanya cuma malas-malasan. Padahal tinggal masukkan saja bajunya ke mesin cuci, selesai. Setelah itu jemur. Apalagi matahari sedang panas-panasnya di luar sejak tadi.” Gerutu suaminya.

“Kok papa menyalahkan mama, sih. Lagi pula papa juga bisa sekali-kali bantu mama kerjakan pekerjaan rumah, kan. Sekarang lagi libur, pa.”

“Justru karena papa libur jadi mau seharian bermalas-malasan, ma. Kan hampir tiap hari papa kerja. Jadi boleh dong, papa malas-malasan.”

“Sudah ah! Mama tidak mau ribut cuma karena jemuran.”

“Ya sudah.”

Suami istri tersebut tinggal dalam sebuah rumah di kompleks perumahan mewah. Kompleks itu memiliki dua orang satpam penjaga. Yang satu kecil tapi memiliki perawakan seperti seorang atlet karate, ditambah otot dan urat-urat di tangannya sangat menonjol, mungkin dia pernah kerja berat sebelumnya. Penjaga yang satu lagi bertubuh  tinggi besar, perutnya menunjukkan bahwa ia seorang tukang makan, tapi brewok  membuatnya kelihatan lebih jantan.

Dua-duanya sangat rajin. Setiap malam, mereka selalu bergantian menjaga pos selagi yang satunya harus mengelilingi kompleks, sekedar untuk lebih meningkatkan keamanan kompleks itu. Tapi setiap kali melewati rumah dua orang suami istri itu, mereka selalu merasa ada yang aneh.

“Kau tadi lewat rumah itu?” Tanya penjaga bertubuh besar.

“Iya, dan rumahnya gelap, yang saya lihat cuma jemurannya saja. Mungkin lagi tidak ada orang di rumah. Atau bisa juga mereka sudah tidur,” kata satpam bertubuh kecil sambil menyalakan rokoknya. “Nah, sekarang giliranku jaga.”

“Tapi sekarang baru jam 8 malam. Masa sudah tidur jam segini?” satpam bertubuh besar berdiri, siap-siap keluar dari pos penjagaan.

Dari kejauhan, penjaga bertubuh besar terlebih dahulu melihat ke arah rumah suami istri itu, sebelum akhirnya berkeliling masuk lebih jauh ke dalam kompleks. Rumah suami istri itu memang tidak jauh dari pos penjagaan.

“Pa, kalau jemurannya tidak kering besok gimana, ya? Soalnya ada baju kantor papa saya jemur tadi,” kata istrinya sambil menatap dinding kamar yang ditembus cahaya bulan yang melewati jendela.

“Pasti kering, ma. Kan sudah setengah dikeringkan lebih dulu di mesin cuci tadi. Asal tidak bau apek aja, sih.” Suaminya memeluk istrinya dari belakang.

“Kalau saja dia ada, mungkin sekarang umurnya 3 tahun, pa?”

“Ayo tidur, ma.” Suaminya menahan air mata di balik punggung istrinya. Tubuhnya gemetar menahan untuk tidak menangis. Di dalam kamar yang gelap itu, wajah suaminya yang terpapar cahaya bulan sangat jelas kelihatan kemerah-merahan menahan emosi. Malam itu tidak hujan, tapi ia mendengar petir seperti menyambar langsung ke uluh hati. Dadanya sesak.

Di luar, satpam bertubuh besar itu sudah melihat-lihat dan mengelilingi hampir seluruh rumah dalam kompleks. Tinggal rumah suami istri itu yang belum ia lewati.

“Sekarang saya tinggal melewati rumah yang paling aneh suasananya. Saya tidak habis pikir, kenapa rumah sebesar ini lampunya tidak pernah menyala lama saat malam hari. Rumah besar, kaya, dengan orang-orang rupawan tinggal di dalamya, sudah jelas sesuatu yang paling membahagiakan. Tapi ini kok selalu gelap, dan gelap berarti kesedihan. Tapi aku juga tidak yakin mereka sedih. Tapi kalau pun iya, kenapa?”

Pria bertubuh besar itu akhirnya melewati rumah si suami istri. Ia berjalan lebih lambat sambil terus-terusan menoleh ke arah dalam rumah, memastikan ada orang atau tidak di sana. Cahaya bulan menyorot ke arah jendela kamar, tapi penjaga bertubuh besar malah menatap lama ke arah teras, kemudian berakhir membungkuk mengamati bayangannya sendiri.

“Kok seperti tidak ada kehidupan sama sekali di rumah ini,” bisiknya. “Bahkan bulan saja tahu bagaimana harus bersyukur. Lihat cahaya itu.” Ia menatap ke arah bulan di atas sana lalu berjalan kembali ke arah pos penjagaan.

**

“Pa, bangun sarapan dulu!” Ia menggoyang-goyangkan tubuh suaminya.

“Sudah jam berapa, ma?

“Baru setengah tujuh kok, pa,” kata istrinya dan berjalan kembali ke dapur.

Suaminya bangun dan bergegas untuk mandi terlebih dahulu sebelum sarapan dan berangkat kerja.

“Papa berangkat ya, ma.” Ia mengambil tas kerjanya, kunci mobil, dan setengah berlari menuju parkiran.

“Iya. Hati-hati, pa! Istrinya berseru dari dapur.

Mobilnya berangkat. Saat melewati pos penjagaan, ia lihat  satu orang penjaga masih tertidur. Ia melewati pos penjagaan begitu saja, lalu bergabung dalam kerumunan kendaraan.

“Hei, bangun kamu!” Kata satpam bertubuh besar. “Tadi baru saja ada mobil keluar dari dari dalam.”

“Aku masih tidur tadi. Kau tahu siapa tadi yang barusan keluar?” Tanya satpam bertubuh kecil penasaran, lalu mengosok-gosok matanya yang masih berat karena kantuk.

“Tidak tahu. Aku tidak terlalu memperhatikan detailnya. Kau ini! kemarin kan kau sudah bermalam di rumah. Giliran aku pulang dan kau yang jaga, eh, kau malah tidur. Tidak jaga sama sekali.”

“Ya maaf.”

“Ya sudah kalo begitu. Eh, pergi mandi sana! Biar sekarang aku lagi yang jaga.”

“Siap,” kata penjaga bertubuh kecil. “Kalo begitu aku balik dulu, ya.” Kata pria bertubuh kecil itu lagi, lalu mengambil kunci motornya di atas televisi, dan hilang berbaur dalam kerumunan kendaraan di jalan raya. 

Waktu berlalu sangat cepat. Matahari sudah nampak kemerah-merahan.

“Papa kok pulangnya terlambat, sih!

“Oh, itu papa tadi kebanyakan ngobrol sama teman kantor. Sampai-sampai lupa waktu. Maaf ya, ma!”

“Ini makan malamnya, pa.”

“Mama tidak makan?”

“Tidak. Tadi sudah makan duluan. Mama lapar karena kelamaan nunggu papa pulang.”

“Oh. Sekali lagi maaf ya, ma.”

Hari semakin gelap. Kali ini bulan tidak terang seperti malam-malam sebelumnya. Dan  rumah besar itu tetap sama, gelap. Lampu teras, ruang tamu, dapur, bahkan kamar semuanya dimatikan. Dalam gelap, diam selalu menemukan kesejatiannya, pikir suaminya.

Ia belum bisa tidur, makanya ia duduk di pinggiran kasur sambil menatap wajah istrinya yang samar-samar karena gelap. Ia menarik napas panjang, mengelus-elus kaki istrinya, dan menatap dalam-dalam ke arah dinding di hadapannya.

“Sampai kapan kita terus berdua saja di rumah sebesar ini ma,” kata suaminya lirih.

Comments

Post a Comment

Popular Posts