Seorang Pria yang Menggali Ide Cerita


Bayangkan kau sedang duduk di beranda rumah, di kamar, atau di manapun sambil menatap lama ke layar laptop dihadapanmu.

Saat itu kau berpikir untuk menulis sebuah cerita, tapi ceritanya masih sebatas bayang-bayang di kepala. Ibarat membangun rumah, Ada banyak bahan mentah yang siap kau susun mulai dari pondasinya terlebih dahulu, kemudian dinding, baru atapnya. Jadilah cerita dalam kepalamu itu indah setelah menyusun layaknya rumah tadi. Sayangnya rumah indah itu masih sebatas khayalanmu, karena setiap bahan untuk menyusun pondasi kalimatnya masih terkunci dalam kepalamu.

Pertama-tama mungkin bagus kalau aku memulai ceritanya dari seorang perempuan yang ditinggal mati kekasihnya, pikirmu. Lalu dengan penuh semangat seperti baru saja mendapat kekuatan dari langit, kau mulai menulis.

Kau menulis satu kata, dua kata, sampai kemudian tersusun jadi satu kalimat. Lalu kau memandangi lekat-lekat kalimat yang kau tulis itu, mengagumi keindahannya sejenak, tapi sejurus kemudian kau berubah pikiran.

"Ini terlalu mengada-ngada," bisikmu. Kau akhirnya menghapusnya. Lalu terdiam lagi untuk waktu yang lama. Sejam, dua jam, tiga jam sudah lewat tapi kau masih belum menulis kembali satu kata pun. Kau masih sibuk dengan pikirannmu sendiri.

Baiklah, pikirmu. Sekarang lebih bagus mungkin kalo aku menulis tentang seorang pria miskin yang dibunuh dan mayatnya ditemukan seorang wanita penghibur saat tengah malam. Lalu cerita akan aku akhiri dengan tidak terduga dan, mungkin mengejutkan, pikirmu lagi. Baik. Itu bagus.

Lalu semangatmu kembali hidup, dan dengan senyum penuh kemenangan, kau mulai menulis lagi.
Kau menulis satu kata, dua kata, sampai akhirnya kembali membentuk sebuah kalimat. Setelah beberapa paragraf, kau membaca ulang tulisanmu dan menemukan ternyata isinya tidak seperti yang kau harapakan. Kau kembali menghapus mereka. Sekarang, sudah dua ide yang masih mentah sudah kau keluarkan, tapi berujung tragis. Kau sudah menginjak-injak idemu sendiri.

Dan seperti di medan perang, kau hampir kehabisan amunisi. Tapi kau bukan orang yang mudah menyerah begitu saja. Kau kembali mencoba menggali ide. Sejam berlalu dengan kau hanya terus duduk di depan kertas kosong laptopmu. Setelah hampir memasuki dua jam berlalu, tiba-tiba ide itu datang.

"Baiklah," bisikmu. "Sekali lagi." Tanganmu mulai mengetik.

Sekarang aku akan menulis tentang seorang pria kesepian, baik hati, dan murah senyum yang tinggal di sebuh lingkungan kumuh, pikirmu. Pria ini akan berakhir dengan kasus pembunuhan yang dilakukanya, lalu masuk penjara. Brilian, pikirmu lagi.
Kau mulai menulis.

Satu kata, dua kata, dan beberapa kalimat bergantian kau hapus dan tulis lagi karena kau kesulitan mencari satu kalimat pembuka yang indah buat memulai ide brilianmu tentang pembunuhan. Sementara kau masih terus menulis, menghapus, lalu menulis lagi, waktu terus berjalan seperti biasa. Hampir satu jam sudah lewat, tapi kau masih sibuk di kalimat yang itu-itu saja.

Akhirnya kau menyerah. "Aku menulis cerita yang lain saja," bisikmu sejurus kemudian. "Aku simpan saja ide cerita untuk nanti.

Dan kau berhenti lagi menulis, tapi masih belum beranjak dari depan laptopmu. Jam di dinding kamarmu sudah menunjuk ke angka 2 lewat sedikit. Tiba-tiba kau kembali punya ide lain di kepalamu. Kau kembali menggerakkan jari tanganmu, dan menari-narikan mereka di atas laptop.

Sekarang aku akan menulis tentang seorang pria yang selingkuh dari istrinya, pikirmu. Dan aku bakal mengakhirinya dengan kenyataan bahwa kedua suami-istri itu ternyata sama-sama selingkuh, lalu ceritanya aku akan akhiri tanpa perceraian dari sepasang suami istri itu.

"Baiklah." Semangatmu tidak berkurang sedikit pun, malah tambah bertambah.

Kau mulai mengetik kata pertama, kedua, dan seterusnya sampai membentuk cerita yang, katakanlah, hampir utuh. Tapi karena tidak sabaran, dan merasa masih ada kesalahan yang kau bikin di awal-awal cerita, kau akhirnya membaca ulang ceritamu dari awal.

Akhirnya dari yang kau baca, ternyata banyak kata dan kalimat tidak sesuai keinginanmu. Kau menghapus yang tidak kau inginkan, tanpa menggatinya dengan kata lain. Kini yang tersisa tinggal kalimat yang kau sukai. Sayangnya, ternyata isinya tinggal beberapa kalimat saja. Kau kesal, lalu menghapus semuanya.

Sekarang semangatmu patah, dikalahkan oleh rasa frustasimu yang amat besar. Tapi tiba-tiba ada lagi ide bagus yang masuk ke kepalamu. Karena lelah, kau mengabaikannya, lalu menekan tombol shut down di laptopmu.

"Besok saja aku menulis cerita yang lebih bagus," bisikmu pada diri sendiri. "Aku yakin besok akan datang ide cerita yang bagus dan brilian melebihi cerita-cerita sampah tadi."

Kau menunggu laptopmu mati sepenuhnya, menutupnya, berdiri dari tempatmu, dan kau merasakan nafasmu lebih berat dari biasanya.


Comments

Popular Posts