Membaca Kerumunan, Menggugat Diri Sendiri

Sumber gambar: Picsart

Begitu malam tiba, mata dan pikiran saya berangsur-angsur menepi ke sisi jalan raya, mengamati ratusan orang dengan puluhan kendaraan mereka yang lalu lalang. Ada yang hanya diam, tidak bergerak sama sekali. Ada juga yang sebatas duduk di pinggiran jalan, sambil menggerakkan lehernya ke kiri dan kanan. Ke mana mereka, apa yang mereka cari dengan terus bergerak seperti itu, mengapa harus ada orang yang duduk di pinggir jalan--di atas motor yang parkir atau di gubuk kecil yang jadi bengkel --dan mengapa saya harus peduli semua itu? Saya juga tidak tahu.

Martin Heidegger pernah menyentil masalah ini dengan bilang, "Kesibukkan membuat manusia resah dan gelisah. Manusia tidak pernah melihat dunia dengan apa adanya, tapi harus diapakan dan dibagaimanakan."

Sedikit banyaknya saya setuju dengan apa yang dikatakan Heidegger. Tapi perkara saya setuju atau tidak itu bukan masalah penting. Nyatanya setiap sore saat pulang dari membuang uang dengan duduk berjam-jam di warkop, saya selalu melihat mobil pengangkut sampah. Di jalan saya berpapasan dengan sopir angkot tanpa penumpang, truk dengan muatan yang kosong, juga mobil pick up yang berusaha putar arah. Memang ini tidak terjadi berulang-ulang dan terus-terusan, tapi saya sudah melihat kejadian macam begitu beberapa kali. Hanya saja memang tidak beruntun. Terpotong-potong dan kadang beda-beda hari. Makanya dengan semua itu berkali-kali saya merasakan bergabung dikerumunan orang-orang sibuk. Hanya saja tujuan dan hasilnya beda. Kalo saya dari membuang uang, mereka dari mencari uang.

Tunggu. Sebenarnya ada satu hal yang sama dari kesibukkan. Sama-sama bergerak, sama-sama punya tujuan. Meskipun mungkin hasilnya bisa berbeda-beda dari masing-masing orang, manfaat yang dikejar dan yang berusaha untuk dicapai hanya kenikmatan dan kebahagiaan.


Bagi saya sendiri, tidak ada yang lebih nikmat dari sebatang rokok di bawah langit malam, sambil melihat asapnya pergi diterangi cahaya bulan atau lampu-lampu jalan. Itu saat di mana saya duduk di teras rumah, atau di balik jendela yang terbuka sambil mendengar lagu 'Good bye' milik Air Supply. Tidak ada. Itu sungguh-sungguh nikmat. Itu benar-benar membikin saya bahagia.

Definisi bahagia berbeda bagi masing-masing orang. Kalau saya lebih mendefinisikan, dan harus mendefinisikan bahagia dengan cara yang sederhana. Bahkan dengan hanya menyentuh puting susu sendiri saya sudah merasa bahagia.

Saat menjadi bagian dari kerumunan saya tidak sempat mengamati secara detail. Saya bukan orang dengan Ingatan yang hanya dengan sekali tangkap semuanya tergambar secara jelas diingatan. Bahkan kalau ada versi lambat dari cepatnya orang berlalu lalang, mungkin sama saja, hanya satu atau dua kejadian yang akan saya ingat. Untungnya (saya tidak tahu ini sebenarnya keberuntungan atau tidak) jendela kamar saya tanpa penutup. Jadi kalau di kerumunan tadi saya tidak sempat menangkap jelas yang dilakukan orang-orang, melalui jendela saya akan kembali mengamati keramaian.

Sungguh indah menemukan kenyataan bahwa saya masih dapat mengamati kerumunan dari kejauhan. Dengan itu saya merasa--meminjam kata-kata Albert Camus--"Setiap jam yang dihabiskan untuk tidur, adalah waktu yang dicuri dari kehidupan". Tapi mungkin begitulah hidup, hanya persoalan mencuri dan dicuri.

Setiap kali mengamati dari kejauhan, saya lihat jelas semuanya tergesa-gesa. Klakson kendaraan saling bersahut-sahutan, hampir mirip aba-aba dalam sebuah lomba lari. Semuanya berusaha saling menduhului. Saya pikir zaman kini membuat kita saling merampok kesempatan.

Dan saya pikir tidak hanya kita yang berlomba dan merampok satu sama lain, waktu juga ikut serta merampok kita. Saya bayangkan kalau saja secara tiba-tiba waktu mencapai titik akhir, dan saya akan melihat dari jalan-jalan besar, dari lorong, dari dalam rumah, gedung-gedung perkantoran, instansi pendidikan,  orang-orang pada berlarian satu arah--di belakangnya gelombang besar, tanah-tanah retak, pohon-pohon tumbang, angin mengamuk, dan yang didengar hanya satu teriakan serentak meminta pertolongan.

Itu saat pikiran-pikiran masuk akal tidak lagi punya tempat, logika di kesampingkan, dan tidak berarti apa-apa. Yang tersisa tinggal sebuah teriakan putus asa dan wajah-wajah yang ketakutan. Tapi, tentu saja, itu sama sekali tidak terjadi dan mungkin belum waktunya. Kita masih sempat menyeduh segelas teh hangat di pagi, atau ikan bakar saat makan siang. Kita bahkan belum menemukan ikan tergelatak di jalan-jalan, dan pohon-pohon masih punya bayangan di bawah terik matahari. Bahkan, dan ini yang terpenting, saya masih bisa mengamati orang-orang dari kejauhan, atau menjadi bagian dari kerumunan.

Tenggelam, membaur, dan menyatu dalam kerumunan itu sebuah pilihan. Ini karena kau bisa memilih untuk tidak harus berada di tengah-tenganya dan menjadi tawanan ribuan mata yang menatap ke arahmu. Atau sebaliknya, bisa jadi kau teguh pada satu pilihan yang kau rasa tepat dengan hanya menatap kerumunan dari kejauhan.

Kadang ada saat di mana kau senang tidak harus berada dekat dengan orang-orang, tapi di waktu yang sama juga sedih karena tidak berusaha mengambil kesempatan untuk bergabung. Lalu kau akan menemukan dirimu sendiri dengan wajah muram, menghela nafas, berbalik dari tempat di mana kau mengamati dari kejauhan, dan bertanya pada sendiri--tidakkah ini semua hanya kesia-siaan?

Comments

Popular Posts