Salah Nama


"Kalo boleh tahu nama kau siapa?"

"Kau. Kau?"

"Iya, maksud saya nama kau?"

"Saya kau. Kau siapa?"

"Oh, kau punya nama Kau? Perjelas, dong. Saya jadi agak keliru tadi. Saya kira kau nyolot, ngajak berantem. Ternyata memang nama kau Kau. Maaf, ya!!"

"Iya, nggak apa-apa. Reaksimu tadi malah sudah sangat kelihatan sabar kalo dibandikan waktu saya kenalan sama orang-orang lain sebelum kau, di bus, di angkot, atau saat dulu saya ikut ujian masuk perguruan tinggi atau tes CPNS. Dulu sampai-sampai ada yang mendaratkan pukulannya di muka saya, mengira saya mengejek dia hanya karena saya menyebut nama saya, Kau. Dia kira juga saya nyolot dan sombong."

"Terus kau balas, Kau?"

"Tidak. Selain karena dia jauh lebih besar, nyali saya juga terlalu kecil. Akhirnya saya cuma bisa mengelus pipi saya dan mencari pembenaran pada diri sendiri dengan mencari kesalahan saya. Dan saya pikir sudah dari lahir memang saya sudah salah, ditambah lagi diberi nama Kau."

"Tapi saya rasa nama Kau cukup bagus, kok. Tidak ada yang salah kau diberi nama Kau."

"Saya selalu berpikir begitu. Bahkan sudah ratusan atau mungkin jutaan kali saya bilang ke diri sendiri kata-kata macam begitu. Tapi saya selalu berakhir dengan pikiran bahwa ini sebuah kesalahan."

"Itu baik."

"Lah, kok baik?"

"Iya. Baik. Tidak ada yang lebih penting di dunia selain mengetahui sendiri kesalahan sendiri. Dengan itu kita punya kesempatan memperbaikinya."

"Jadi kau menganggap nama Kau juga sebuah kesalahan?"

"Bukan. Bukan itu maksud saya. Yang salah bukan nama Kau. Yang salah justru pikiranmu yang menganggap nama Kau itu salah. Makanya ubah pola pikirmu supaya tidak melulu berkubang dalam satu kolam lumpur kesalahan. Ingat saja sudah berapa puluh tahun kau habiskan waktu untuk berpikir tentang nama Kau itu salah, maka kalo di kalkulasi semuanya, paling tidak, sudah akan banyak ide yang kau terapkan jadi sesuatu yang lebih berguna dibanding cuma berusaha mengutuk kesalahan nama sendiri."

"Ah, tidak juga. Saya bukan tipe orang yang menganggap ide terlalu penting."

"Buktinya kau bilang sendiri tadi, kau lebih suka berpikir nama Kau sebuah kesalahan. Ide muncul dari seberapa seringnya orang berpikir."

"Tapi saya cuma suka berpikir tentang kesalahan nama saya. Bukan ide."

"Ya, paling tidak kau suka berpikir, kan?"

"Ah, berpikir tentang nama yang buruk tidak sama dengan berpikir untuk menemukan ide. Keduanya dau hal yang berdeda."

"Tapi sama-sama berpikir, tidak?"

"Memang sama-sama berpikir. Tapi, kan, tujuannya beda.

"Kita tidak bicara tujuannya. Terserah arahnya ke mana. Yang jelas, hasil dari pikiran tetap akan jadi ide, kan."

"Tidak tahu, ah. Pusing bicara sama kau, berbelit-belit. Tidak ada ujungnya. Nih, ngomong sama tembok."

"Ya, sudah. Daripada ujung-ujungnya nanti jadi salah paham, mending kita akhiri sampai di sini pembacaraan ini."

Hari semakin gelap. Lorong keramat makin sepi. Orang-orang tidak ada lagi yang berlalu lalang mengisi tiap jengkal tanah di lorong itu, dan suasana desak-desakkan memperebutkan jalan masuk lorong tidak lagi terasa. Suasana kosong seperti ini justru yang menenangkan dibandingkan tadi siang saat masih banyak orang. Di lorong inilah di mana kerumunan lebih menakutkan daripada sendiri di tempat-tempat gelap. Hantu-hantu justu tidak berani memasuki lorong keramat. Orang-orang di sini boleh saja saling bertatap muka, tapi mereka tidak saling menyapa satu sama lain. Inilah keadaan di mana tatapan lebih menakutkan daripada ditusuk pisau. Di sini kau hidup, tapi tidak benar-benar hidup. Bahkan mati sudah lebih berguna daripada hidup di tengah-tengah orang yang kehilangan selera humor.

"Baiklah. Sekarang tinggal kita sendiri. Apa selanjutnya?"

"Tidak tahu. Mungkin pulang."

"Hei, ini rumah kita. Di sini kita tinggal. Kau lihat tempat sampah itu? Itu dapurnya."

"Atau coba kita keluar cari udara segar."

"Kau bercanda. Di kota mana ada udara segar. Yang ada cuma polusi."

"Kalo begitu cari polusi."

"Itu bukan solusi, kawan."

"Kawan? Sejak kapan kita berteman? Dari tadi kau hanya menceramahiku ini itu, dan berpikir untuk membuat saya melupakan begitu saja kebiasanku berpikir tentang kesalahan nama Aku."

"Oke, kita tidak berteman. Tapi kita bisa mencoba berteman, benar?"

"Tidak perlu buru-buru. Saya belum berminat."

"Lantas, dari tadi kita saling bicara itu bukannya karena kita sudah berteman."

"Tidak."

"Hei, bahkan kita sudah berjalan sama-sama sejauh ini. Lihat lorong tempat tinggal kita, sudah terlihat seperti titik dari kejauhan sini."

"Tidak lucu."

"Saya memang tidak sedang melucu, Kau."

"Oh."

"Kau sama saja seperti orang-orang banyak tadi siang. Tidak punya selera humor."

"Itu bukan salah saya karena tidak punya selera humor."

"Kau, Kau. Ada-ada saja kau ini, Kau. Kau selalu berpikir salah nama, padahap yang salah bukan namamu, tapi pikiranmu."

"Jadi kau bermaksud bilang saya bodoh? begitu!!?"

"Tidak. Saya cuma bilang pikiranmu yang salah, bukan otakmu."

"Itukan sama saja."

"Jelas tidak sama, dong. Kesalahan pikiran mudah diperbaiki, otak tidak."

"Bicaramu selalu saja berbelit-belit. Saya tidak tahu lari kemana ujung pembicaraanmu ini."

"Mungkin pembicaraan kita."

Tiba-tiba seluruh kendaraan berhenti serentak. Lampu-lampu jalan tetap sama, diam di tempat. Yang bergerak hanya sampah-sampah yang terbang ditiup angin malam itu. Dan dari salah satu sampah itu, melayang kertas koran. Koran itu terbang melewati bagian atas mobil, dan jatuh tepat di atas mobil merah saat angin kencang berhenti bertiup. Di bagian depan koran, di atas mobil bagian depan, tertulis judul berita 'Kecolongan, Pasien RSJ di Kota M., Melarikan Diri'. Dan berita Nasional itu tercatat satu minggu yang lalu.

Comments

Popular Posts