Tuan 13


Tuan 13, saya sudah menerima ucapan terimkasih anda melalui e-mail yang anda kirim sehari sebelum saya membalas e-mail anda ini. Terimakasih? Kenapa orang harus mengatakannya setiap kali mendapat bantuan? Bahkan kalo itu saya, saya lebih banyak mengucapkannya dengan tidak tulus, dan kebanyakan omong kosong. Maksud saya, saya hanya tidak ingin tidur pagi saya diganggu harapan mendapati ucapan terimakasih dari orang yang sudah saya bantu bertahun-tahun, tapi bahkan sedikitpun tidak kepikiran untuk itu. Saya tahu anda orang cerdas dan sudah pasti mengerti jelas maksud saya apa. Tapi aneh sekali bahwa saya menemukan kata ini terus berdengung ditelinga saya dengan cara yang salah. Saya berharap untuk tidak berpikir mendapatkannya dari siapa pun, karena memang saya merasa tidak membantu orang akhir-akhir ini dan tidak ada yang sedang butuh bantuan. Dan saya pikir kata--omong kosong--'terimakasih' harusnya lebih mudah diucapkan ketimbang kata 'maaf', benar? Tapi kebanyakan orang susah melakukan keduanya dengan tulus. Begitulah dunia di mana kita hidup sekarang ini, tuan. Semuanya hanya perkara kebutuhan. Dan kalau masing-masing sudah tidak butuh lagi, ucapan-ucapan itu berlalu seperti angin.

Begini saja, tuan 13. Akan lebih bagus kalau anda menyisihkan sedikit waktu berharga anda supaya kita bisa berbincang. Maksud saya berbicang dengan saling bertatap muka. Tidak melalui surat eletronik seperti ini. Tuan 13 yang saya hormati, saya pikir perbincangan dan diskusi kita akhir-akhri ini masuk ke tahap yang cukup menarik dan serius. Itu juga kalau tuan punya waktu. Kalau tidak, ya, mungkin lain waktu di lain kesempatan.

Oh iya, tuan 13. Saya menulis ini dalam keadaan sedih, tuan. Masalahnya pagi tadi saya baru mendapat kabar seorang yang saya kenal, hanya kenal tapi asing, meninggal setelah mengucapkan terimakasih ke driver ojek yang mengantarnya ke kantor tempat dia bekerja. Driver ojek itu menurunkan dia hampir di tengah jalan pengaruh buru-buru karena istrinya mau melahirkan. Akhirnya orang yang saya kenal ini berusaha menyeberang ke tepi jalan, tapi nasib berkata lain. Sebuah truk menabrak dia sampai mulut dan kerongkongannya hancur. Dan waktu melihat jenazahnya, saya bahkan tidak mengenali dia lagi.

Tuan 13, saya memang sedang sedih sekarang, tapi tidak mau berlarut-larut. Apalagi untuk sekedar meratapi orang yang hanya saya kenal beberapa bulan. Tapi memang begitulah saya, eh, maksud saya sifat manusia pada umumnya. Beruntung saya tidak sempat mengambil fotonya untuk dipamer di media sosial. Karena kalau sampai itu terjadi, di mana empati saya untuk keluarganya. Belum tentu mereka mau terima mayat keluarga mereka jadi pajangan. Saya harap tuan sependapat dengan saya masalah ini.

Tuan 13, saya ingin bertanya pada tuan. Seberapa besar tuan menghargai ucapan terimakasih dari orang lain untuk tuan? Atau seberapa sering orang lain, atau mungkin tuan sendiri, mengucapkan kata--omong kosong--ini?

Saya bertanya serius masalah itu, tuan. Dan saya harap tuan tidak tersinggung. Sebab, saya cukup kesulitan di sini mencari pertanyaan yang bagus. Saya mesti berpikir banyak, pengaruh mungkin ini bisa saja menyinggung perasaan tuan. Belum lagi nyamuk di rumah saya tidak mempan dan tidak lari mendengar bunyi kipas angin atau angin dari kipasnya yang terlalu kencang, yang semakin menyulitkan saya berpikir mencari pertanyaaan bagus.

Tuan 13 yang hormati, untuk membalas surat eletronik tuan ini, saya sudah duduk sekitar 3 jam di ruangan khusus tempat saya sering merenung. Saya pikir memamg tidak mudah untuk menulis, tapi saya usahakan dan berkata pada diri sendiri bahwa saya harus bisa. Apalagi ini demi untuk memberi balasan surel tuan.

Sayang sekali saya cukup berat mengucapkan terimakasih, tidak semudah yang tuan lakukan. Saya mengapresiasi segala bentuk ucapan terimaksih anda, saya menerimanya, tapi saya tidak bisa membalasanya dengan ucapan yang sama. Mohon tuan mengerti.

Tuan 13, saya tahu ini cukup egois, tapi ucapan terimakasih yang tulus hanya diberikan pada orang yang benar-benar berhak mendapatkannya. Dan saya merasa tidak berhak. Itu menurut saya terlalu sakral.

Baiklah, tuan. Saya pikir sudah terlalu panjang balasan ini, dan tidak ingin menambahnya lagi meskipun sebenarnya masih banyak yang harus diisi, takut kalau-kalau tuan merasa bosan membacanya lalu tidak menyelesaikan membaca keseluruhan. Sampai di sini surat ini, dan mohon pahami isinya.

Salah hangat, orang sombong.

**

Aku baru saja bangun dan selesai mengaduk kopi waktu membuka handphone, dan mendapati pembaritahuan e-mail masuk dari orang asing yang selalu menyebut saya dengan nama aneh. Tuan 13. Nama yang aneh, di mana yang lebih anehnya, aku malah menyukainya. Aku pikir ini cukup bagus, sih. Selain karena sakral, aku merasa akrab dengan itu meski baru kali ini mendengar ada orang memanggil namaku demikian.

Aku pikir matahari sudah tinggi di luar sana, karena sekarang, di kamar ini, aku merasa agak kepanasan, mungkin pengaruh tembok kamarnya tidak bisa menahan panas agar tidak tembus ke dalam, atau bisa juga karena   cuaca hari ini memang sedang panas-panasnya. Meramal cuaca sebenarnya jadi hal yang paling ingin kulakukan, tapi aku tahu ini tidak semudah menyebut orang lain bodoh. Meramal cuaca harus melalui banyak perhitungan matang, dan sedikit kesadaran.

Memang, sudah beberapa kali aku saling bertukar pesan eletronik dengan orang yang menyebut dirinya selalu dengan nama 'orang sombong' di akhir kalimat suratnya ini. Aku sangat ingin tahu seberapa sombongnya beliau, makanya tidak sabar untuk segera bertatap langsung dengannya.

Malam hari sepulang dari pesta reuni alumni SMA, aku langsung menuju kamar, membuka laptop di atas meja belajarku, dan mulai menulis surat balasan. Begini aku selalu memulai:

Aku sudah membaca surat anda, tuan. Kemarin-kemarin aku tidak berani menyebutnya, tapi anda selalu mengaskan nama itu, maka mungkin aku sebut saja anda tuan sombong. Dan sekali lagi terimakasih......

**

Aku menulis ucapan tidak sampai setengah jalan. Aku harus menunggu beberapa hari lagi, mencari sedikit inspirasi, baru kemudian melanjutkannya. Itu juga kalau mungkin. Menulis tidak semudah membuang ingus.

Comments

  1. Sekali lagi, Andi berhasil membawa saya ke dunianya.
    Sebuah tamparan bagi manusia zaman sekarang, setiap ada musibah dan kebaikan selalu di posting.
    Ketika terjadi kebakaran di sebuah panti asuhan di dekat tempat saya, manusia-manusia lebih banyak yang mengeluarkan handpone, berlomba untuk mendapatkan foto terbaik (versi mereka) bukan membantu. Ketika orangtua mereka meninggal, mereka malah memfotonya dan posting ke media sosial masing-masing, kalau itu orang tua saya, saya sudah tidak tahu lagi handpone saya dimana.
    #jangan panjang-panjang komennya, nanti gak dibaca...😂😂

    ReplyDelete
  2. Haha, Rahma bisa aja. Terimakasih kunjungannya, Rahma. Sering-sering, ya!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts