Subuh Terakhir


Aku melihatnya bangun pagi-pagi sekali hari itu. Karena penasaran, takut kalau saja penglihatanku salah, aku melihat jam untuk memastikan  bahwa memamg masih sangat pagi. Dan tentu saja dugaanku benar, jam masih di angka lima lewat satu menit. Aku melihatnya lari-lari kecil sambil tangannya ia kepal menutupi mulutnya, meniupnya, mencoba menghangatkan tubuh mungkin karena udara dini hari sedikit dingin. Ada karung yang ia selipkan di celah celana dengan pinggangnya. Cahaya bulan yang sebentar lagi hilang menyorot dia dari atas sana, dan aku melihatnya diikuti bayangannya yang memantul ke pagar, lalu ke jalan begitu pagar-pagar ia lewati. "Aku harus cepat-cepat," katanya pada diri sendiri, "Sebentar lagi teman-temanku yang lain mungkin bangun dan mengambil semua plastik yang dibawa arus tadi malam ke pantai. Aku takut tidak kebagian dan cuma dapat sisa-sisa dari mereka."

Sampai di pantai ia menemukan sudah ada beberapa orang dari temannya yang mengumpulkan plastik yang mau ditimbang dan diuangkan itu. Ia lihat salah satu temannya bahkan mendapat plastik besar berupa tutup drum di dalam karungnya. Ia merasa kesal. Bukan karena ia tidak mendapat plastik ukuran besar seperti temannya, tetapi kenyataan bahwa meskipun sudah bangun pagi-pagi sekali, ia masih keduluan temannya yang lain. 

Tidak lama ia berjalan di pantai dengan terus mengumpulkan plastik, hari sudah terang, makanya ia bisa melihat jelas wajah dan senyum sumringah teman-temannya karena sebentar lagi karung-karung plastik mereka hampir penuh. Dengan suara setengah kesal melihat temannya sudah mengumpulkan lebih banyak plastik sementara ia belum, ia setengah berbisik, tapi terdengar seperti teriakan putus asa, ia bicara ke diri sendiri, "Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit," dan terus mengulang pepatah itu sambil matanya terus-terusan melihat, sekali-kali juga mengorek dengan kayu, tumpukkan rumput laut yang menggunung itu.

Mulai dari subuh air laut memang menuju pasang, makanya saat matahari muncul, bersamaan dengan itu ombak-ombak juga sudah mulai menggulung. Ombak-ombak besar menghantam apa saja yang dilewatinya, menimbulkan bunyi yang khas saat mengenai tubuh-tubuh kapal, atau sampan-sampan yang berjejer di sepanjang pantai. Biasanya musim seperti ini berlangsung dari bulan Desembar sampai Maret, tapi kadang juga tidak menentu. 

Ia tidak takut melihat ombak yang bahkan mengalahkan tinggi tubuhnya yang masih berusia 8 tahun itu, dan selalu melihat ombak yang datang dengan harapan kali ini ombak membawa hanyut banyak plastik yang bahkan ia tidak tahu dari mana plastik-plastik itu berasal. Ia hanya mengumpulkan sebanyak mungkin lalu menjualnya jika sudah dirasa memungkinkan. 

Pepatah "Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit" sebenarnya seperti mantra bagi dia. Biasanya dengan mengucapkan itu terus-terusan, ia lupa waktu dan rasa capek meski harus berjalan seharian. Dan di rumah sudah ada tiga karung beras ukuran 25 kg plastik terkumpul. Ini sebenarnya sudah cukup banyak untuk ukuran anak 8 tahun. Meskipun, memang, butuh sekitar dua minggu tanpa libur untuk mengumpulkan plastik sebanyak itu. Rencananya tinggal hari itu ia pergi mengumpulkan plastik, dan saat pulang nanti, ia akan menjual plastiknya ke penada.

Hari itu tidak seperti biasanya karena ia berpikir harus lebih semangat mengumpulkan sebanyak mungkin plastik untuk karung terakhir sebelum sebentar lagi dijual. Ia berjalan lebih jauh dari biasanya, dan, berenang lebih gigih dari biasanya saat melihat ada plastik nyangkut di kayu atau tidak sempat sampai ke pantai. 

Ombak-ombak menggulung seperti sedang mengamuk hari itu. Hujan juga sangat lebat, sampai-sampai langit di siang hari juga kelihatan gelap akibat mendung. Kapal-kapal banyak yang lepas dari tempat berlabuh, sampan-sampan terombang-ambing ke sana ke mari. Sementara di pantai beberapa orang anak sedang berkumpul satu sama lain.

 "Aku kedinginan. Mungkin aku mau pulang. Lagi pula sudah dari tadi aku tahan dingin karena hujan dan anginnya sangat kencang." Kata salah satu dari mereka. Dan yang lain mengiyakan, setuju bahwa mereka memang harus pulang. "Tidak. Aku masih belum mau pulang. Kalian duluan saja!! Aku masih harus mengumpulkan sedikit lagi supaya karung ini terisi penuh." Katanya sambil menggigil. "Baiklah." Jawab temannya. Mereka berpisah. 

Akhirnya tinggal dia sendiri di pantai. Hari itu memamg hanya ia dan teman-temannya yang mencari plastik. "Ini tidak sama hari biasanya. Aku tidak tahu kenapa tidak banyak orang yang mengumpulkan plastik hari ini. Sebenarnya aku juga takut ditinggal sendirian. Tapi, ah, bukankah cukup bagus kalo tidak ada orang? Sainganku jadi tidak banyak. Aku hanya harus mengumpulkan sedikit keberanian untuk mendapat lebih banyak plastik. Lagi pula ini karung terakhir, dan sebentar lagi aku akan punya uang untuk beli kelereng."

**
Melihatnya berlari-lari kecil pagi itu, aku tidak tahu itu akan jadi hari terakhir aku melihatnya sebagai anak kecil yang penuh semangat. 

Comments

Popular Posts