Harapan Abadi


Sambil menunggu matahari tenggelam, dia duduk di atas perahu kosong di tepi laut. Tangan kirinya ia lipat menopang dagu di atas palang kayu rendah di belakang kapal dan tangan kananya memegang sebatang rokok yang sudah setengah habis. Sore itu, air laut sedang pasang dan tubuh perahu bergoyang pelan dari kiri ke kanan. Matanya menatap kosong ke arah matahari yang berwarna kemerahan, berkaca-kaca, seperti mau menarik matahari itu dengan kedua bola matanya.

"Aku percaya bisa jadi orang hebat di masa depan. Aku cukup berusaha dari sekarang, dan pasti semuanya berjalan sesuai keinginanku."  Dia menghembuskan asap rokok ke udara.

Semakin lama sinar matahari semakin kemerahan, lalu berubah jadi gelap. Tubuh kapal juga sudah sampai menyentuh pasir karena air laut sudah surut.

"Aku harus kembali. Aku hampir lupa, ibu tadi memasak ikan kesukaanku." Dia berdiri, berbalik, dan melihat sejenak lampu rumah-rumah sudah ada yang menyala.

"Biar juga sebagian rumah di sini sudah ada yang punya penerangan, tapi sayang, belum semua bisa merasakannya. Apalagi lampu cuma akan menyala sampai tengah malam."

Dia berjalan menyusuri lorong sempit, agak gelap karena tidak ada cahaya lampu yang mengenainya.

"Coba saja di sini ada lampu jalan!!  Gerutunya dalam hati.

**

Tahun-tahun berlalu dan dia masih ingat sore yang menjemukkan itu. Itu ingatan masa kecilnya. Lama ia meninggalkan kampung halamannya buat merantau dan jadi anak buah kapal. Setelah kembali, Ia rasakan kampung halamannya sudah banyak perubahan. Lampu jalan di mana-mana dan lampu di rumah-rumah warga juga sudah menyala siang-malam. Ia tidak habis pikir dengan kemajuan ini. Bayanganya tertuju pada kapal yang ia tempati merenungi masa depannya sore itu, kapal 'Harapan Abadi'. Ia bergegas menuju laut, tapi tidak lagi menemukan kapal itu.

"Kapal 'Harapan Abadi' di mana, pak?" Dia bertanya ke nelayan yang sedang membersihkan isi sampannya pagi itu.

"Oh, 'Harapan Abadi', itu di sana!! Bapak nelayan menunjuk kerangka kapal yang sudah hancur dan karatan. Yang tersisa tinggal bagian depan kapal yang ujungnya mengarah ke langit.

Dia melihat ke arah kerangka kapal dengan putus asa. Tanpa sadar, dengan sedikit merunduk, ia berbalik buat pulang kembali ke rumah.

"Baiklah. Di masa depan, aku harus punya kapal sendiri. Dan aku bakal menamainya juga 'Harapan Abadi'. Aku pasti bisa. Aku hanya cukup berusaha." Katanya lirih sambil mengangkat kepalanya ke atas dan mengepalkan kedua tangannya.

Sementara itu, sinar matahari pagi sedari tadi menyinari seisi desa, menusuk ke dalam matanya, dan membuatnya berkaca-kaca.

Comments

Popular Posts