Tentang Tempat Asing


Terus saja, setiap kali hari mau gelap, saya tiba-tiba merasa terlempar ke tempat asing, sampai-sampai harus terbiasa belajar menerima sesuatu yang baru dan bahkan bisa langsung pergi tiba-tiba tanpa saya bisa mengenalnya lebih jauh.

Saya biasa menghabiskan waktu sore hari duduk di serambi rumah, menikmati matahari tenggelam. Rumah tempat saya kost posisinya menghadap ke selatan, menyamping dari arah datangnya sinar matahari sore. Tentu saja, saat menikmati matahari mau tenggelam, posisi tubuh saya harus menghadap ke selatan. Tapi posisi kepala menghadap ke barat, ke arah datangnya sinar matahari.

Saya tidak sendiri saat duduk di serambi. Burung merpati akan datang dan hinggap di sela-sela antara atap dan tembok bangunan kamar kosong sebelah kamar saya. Dan selalu, saat burung merpati datang dan hinggap, matahari akan sudah hilang dan hari semakin gelap. Saya senang mengamati merpati itu mondar-mandir di tempatnya hinggap, seperti mencari posisi yang nyaman untuk istirahat di sana. Dan saat posisinya sudah dirasa nyaman, merpati itu akan duduk, melipat sayapnya di atas kepalanya dan menatap kosong ke arah saya duduk.

Suatu tempat asing bisa saja membuat kita nyaman. Tetap saja, tidak akan senyaman tempat asal kita.

Saat duduk menikmati matahari tenggelam, saya memang merasa nyaman. Dengan itu saya bisa merasakan kembali saat-saat dulu sambil menghabiskan sore hari duduk di pantai, waktu dimana jam-jam istirahat sebentar lagi dimulai. Ini seakan-akan sore adalah akhir dari perjalanan yang melelahkan, untuk menunggu waktu dimulai lagi saat pagi hari.

Kalau saja ada pelukis yang bersedia melukis kegiatan orang-orang yang menunggu matahari tenggelam, yang terbiasa duduk melingkarkan kedua tangan di lutut, mungkin sudah banyak lukisan-lukisan dengan tema kesepian. Bukan tidak mungkin itu menjadi lukisan yang paling mahal atau paling laku. Sebab, secara umum dan hal paling dasar dari perasaan manusia, saat bisa menikmati penderitaan orang lain, saat isi kepala mereka berkata, "Masih ada yang melebihi penderitaanku."

Hal paling unik saat duduk menikmati matahari tenggelam, saat saya menyadari alam ternyata berisi kumpulan kata dan membentuk kalimat menyedihkan tapi tidak memiliki suara. Dan saat kalimat-kalimat alam sudah tersusun baik dalam kepala, puisi-puisi kesedihan mendesak meramaikan kesunyian di dalamnya.

Kesunyian seringkali sangat tidak bersahabat. Setiap kali kenyataan mendesak masuk mengisi kekosongan di dalam kepala, saat itu juga saya menemukan banyak pertentangan dan berusaha menolaknya. Misalnya saja, saya melihat orang berlalu lalang di luar sana. Saya akan tiba-tiba sadar, semuanya hanya sementara. Orang-orang itu bisa saja pergi satu demi satu meninggalkan kefanaan ini, tapi bahkan tidak sadar semuanya sudah diatur.

Memang tidak seterusnya kita harus belajar mengenal tempat asing. Tempat asal masih lebih banyak yang harus diketahui. Masalahnya, sulit untuk menolak kenyataan bahwa kita sebenarnya tidak lebih dari sebuah unsur terkecil dari alam, dan tidak dapat berbuat apa-apa untuk menyusun yang sudah diatur sesuai keinginan kita. Inilah kenyataan yang membuat manusia hanya bisa pasrah--bertindak hanya agar bisa menolak keputus-asaan.

Comments

Post a Comment

Popular Posts