Obrolan di Warung Kopi

Sumber Gambar: Google

Ada sebuah warung kopi yang letaknya persis di bawah pohon besar. Pohoh itu kira-kira sudah berumur puluhan tahun, dan ranting-rantingnya hampir semuanya sudah mati. Yang bisa jadi tanda bahwa pohon itu masih akan berdiri lama, cuma daun-daunnya yang tinggal sedikit di dahan tertinggi dan paling atas dari pohon itu.

"Sebenarnya ini pohon sudah harus ditebang. Kenapa tidak tebang saja? Nanti ini pohon kalo rubuh bisa kena bangunan ini." Saya membuka percakapan dengan pelayan warkop sebelum duduk dan memesan kopi, karena memang sudah akrab dan saya langganan.

"Iya, sih. Masalahnya bos belum mau tebang ini pohon. Katanya ini sumber keberuntungan buat warkop. Ada-ada saja." Kata pelayan membalas percakapanku dengan sesimpul senyum mengejek dan sinis, mungkin ditujukan untuk bos nya.

"Kau tidak percaya ini pohon sumber keberuntungan warkop ini, ya?"

"Iyalah!! Masa pohon dipercaya jadi sumber rejeki?!! Tidak mungkin. Rejeki, kan, sudah ada yang atur."

"Hmm, ya sudah. Saya pesan yang seperti biasa!!"

Pelayan bergegas menuju dapur, menyalakan kompor, dan memasak air untuk kopi susu pesanan saya. Setelah beberapa menit dia datang dan meletakkan gelas di atas meja depan saya. Di dalam gelas, hitam pekat kopi masih bersusun dengan putih susu di bawahnya. Lalu saya memasukkan sendok ke dalam gelas, dan mengaduknya sampai kopi sama susu bercampur jadi satu. Setelah itu saya mengangkat gelasnya, meminum satu tegukkan dan merasakan kenikmatannya.

**

Sudah hampir tiga jam saya nongkrong di warkop, membuka-buka Youtube dan menonton banyak jenis video. Mulai dari yang lucu, sedih, sampai tentang masalah penderitaan yang dialami orang lain. Tidak lama datang bapak yang memang sudah akrab dan saya kenal, yang juga jadi langganan di warkop itu. Tanpa basa-basi dia langsung duduk dekat saya, lalu memukul pundak saya.

"Sudah lama, kah?" Tanya dia.

"Owh, Bapak. Iya, sudah agak lama, sih." Saya membuka headset dan menggeser sedikit kursi ke samping.

"Saya mau cerita, nih. Saya tidak sangka cerita dan apa yang saya rasa ini nyata. Tapi mungkin bagus kalo saya ceritakan."

"Cerita apa, pak?!!" Tanyaku pura-pura antusias.

"Tadi, waktu mau Ke sini, saya singgah buat isi bensin di Pertamina. Antriannya tidak terlalu panjang. Nah, di depan saya, saya lihat bapak-bapak habis mengisi bensin langsung menuju ke ibu yang duduk dekat pom bensin itu dengan kaleng kosong di tangannya. Saya lihat dia memasukkan uang lima ribu dan langsung tancap gas. Sebelum tiba giliran saya, saya mengamati juga mobil yang sedang isi bensin di pom yang berbeda...."

"Terus apalagi, pak!!" Saya sudah sedikit antusias.

"Setelah isi full tangki, mobil itu melaju dan hampir mengenai ibu-ibu tadi."

"Untung si Ibu tidak disenggol sama itu mobil." Saya menanggapi sambil mengaduk gelas pelan-pelan.

"Dalam perjalanan ke sini," si bapak melanjutkan, "Saya juga lihat ada dua orang, laki-laki dan perempuan. Saya pikir mereka pacaran, tapi sedang bertengkar. Saya cuma melihat sekilas si perempuan dengan muka kesal berjalan buru-buru, dan dari belakang si pria berjalan sambil mendorong motor. Tidak jauh dari situ, saya lihat lagi dua orang kakek-nenek sedang duduk di teras rumahnya sambil menikmati makanan dan minuman di meja depan mereka."

"Wah, cerita bapak seperti bicara soal kemungkinan-kemungkinan, ya? Menampilkan dua sisi yang berbeda dari kehidupan."

"Itulah. Saya juga hampir-hampir tidak percaya dengan yang saya lihat barusan."

"Tapi memang, pak. Hidup penuh gambaran-gambaran seperti itu. Cuma saja kita tidak peka buat mengamati perbedaan, dan setiap kemungkinan yang terjadi di sekitar kita. Tidak aneh, sih, ketika ada orang mengamati tingkah kita dari kejauhan. Seperti yang kita lakukan sekarang, pak. Mungkin saja ada yang lagi mengamati kita, lalu kita jadi memori dalam ingatan orang itu. Bisa jadi, kan? Ini tidak menutup kemungkinan."

"Kata-katamu bisa benar, bisa juga tidak. Memang kita harus selalu percaya kemungkinan seperti itu."

Di depan meja kami seorang laki-laki yang belum akrab, dan tidak saya dan bapak kenal, berdiri memasukkan laptop ke tasnya. Ia berdiri dan menuju ke meja kasir. Setelah itu, dia menuju pintu keluar, melewati meja kami, dan melihat ke arah kami sambil tersenyum dan menganggukkan kepalanya ke bawah.

Comments

Popular Posts