Jalan Keluar

Sumber Gambar: Google

Aku merasa dunia berangsur-angsur meninggalkanku sendirian. Sudah sangat lama aku bertarung melawan pikiranku sendiri, mencoba menghancurkan batu yang mengganjal di dada dan kepalaku. Sekarang, aku berpikir untuk menyerah.

Kedua orangtuaku sama-sama sibuk dengan urusannya masing-masing. Ayahku seorang pengusaha, menjalankan bisnis yang ia rintis dari bawah. Begitu juga ibuku, ia seorang wanita karir yang sukses dan punya penghasilan yang tidak kalah dari ayahku. Keduanya pekerja keras. Begitu pulang dari bekerja, keduanya langsung menuju kamar untuk tidur karena kelelahan. Setiap hari aku cuma bisa mendengar langkah kaki mereka menaiki tangga di depan pintu kamarku. Mereka bahkan tidak punya waktu menanyakan keadaanku. Aku merasa seperti orang asing dalam rumah sendiri.

Dua tahun lalu, aku sudah mencoba mengiris pergelangang tanganku dengan silet. Aku tidak tahu itu keberuntungan atau kesialan, saat tetangga mendengar teriakanku dan membawaku ke rumah sakit tepat waktu. Aku benar-benar butuh mengakhiri penderitaan ini, supaya bisa cepat-cepat merasakan kedamaian dan orang-orang tidak harus mengingatku. Aku tidak sedang sakit, tapi saat aku berjalan dalam  keramaian, aku merasa orang-orang menatapku dengan iba. Mungkin ini hanya perasaanku, tapi aku merasa terhina dengan itu. Aku hanya ingin seseorang datang padaku, memegang pundakku dan berkata, "Semuanya akan baik-baik saja."

Bagiku hidup tidak semudah yang dibayangkan banyak orang. Aku pikir aku terlalu rapuh untuk bisa menghadapi kenyataan. Sebagai anak perempuan dan anak yang cuma satu-satunya, lahir dari keluarga berada, aku memang tidak kekurangan masalah uang. Tapi, tetap saja aku merasa kosong. Orangtuaku, teman-temanku di sekolah, semuanya tidak ada yang melihatku begitu banyak.

Setiap hari aku menghabiskan waktu di kamar sendirian, mendengar musik atau langkah kaki orangtuaku. Tidak jarang saat terlalu bosan di dalan kamar, sore menjelang malam, aku biasa keluar untuk jalan-jalan. Tapi bahkan itu tidak mengisi kekosonganku. Di bawah lampu jalan, yang aku lihat tetap saja kegelapan, seperti lorong sunyi dimana aku hanya bisa mendengar langkah kaki sendiri.

Kurasa hidup butuh jarak agar orang mengerti arti kehilangan. Hanya saja, aku tidak habis pikir, kenapa jarak tidak lagi cukup punya makna untuk bisa kuterima. Mungkin ini perkara dari awal aku sudah terbiasa dengan itu. Orangtuaku pikir mereka paling mengerti tentangku, dengan tidak membiarkan isi dompetku kosong. Padahal aku butuh lebih dari itu.

Aku menulis ini sambil tersenyum. Mungkin karena sebentar lagi akan menemukan kedamaian. Inilah satu-satunya jalan keluar dari frustrasiku. Aku tidak tahan lagi dengan omong kosong ini.

Salam hangat,

Jessy



**

Satu minggu setelah kasus bunuh dirinya, ibunya baru menemukan surat Jessy di dalam laci meja belajarnya.

"Ini semua gara-gara kau!! Kau tidak becus mengurus anak!!" Kata Ayahnya di meja makan.

"Apa?!! Kau sendiri bagaimana?" Wajah ibunya masih pucat, memendam penyesalan yang dalam.

"Coba saja kau tidak usah bekerja, dan cukup perhatikan anakmu!! Kejadian seperti ini tidak bakal terjadi."

"Kau cuma menyalahkan aku?"

"Kau, kan, yang melahirkannya, wajar kalo itu semua salahmu!!"

"Sudahlah, akui saja, kita tidak cukup baik jadi orangtua."

"Kau yang tidak cukup baik!!" Teriak ayahnya sambil mendorong piring ke lantai.

Comments

Popular Posts