Benarkah Saya jadi Manusia Urban?

Bahagia atau rasa senang tidak usah terlalu dicari, apalagi rela menghabiskan banyak uang dan tenaga untuk itu. Cukup lakukan tindakan kecil di sekelilingmu, selesaikan itu, dan rasakan bagaimana kamu merasa lega sambil tersenyum pada diri sendiri.

Banyak hal yang membuat saya senang dan bahagia; menyelesaikan buku bacaan, mandi pagi, dan juga menyelesaikan ocehan  lewat tulisan. Saya orangnya gampang tersentuh fenomena miris yang ada sekeliling, tapi tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak punya apapun. Melihat anak putus sekolah misalnya, atau seorang ibu yang banting tulang cari makan sehari-hari di jalan-jalan kota Makassar. Dan saya akan merasa senang dan bahagia, saat ada sedikit yang bisa saya beri ke mereka, baik uang, tenaga atau apapun. Bahkan mengucapkan 'terima kasih' ke tukang parkir yang memindahkan motor saya dari parkiran ke pinggir jalan, membuat saya ingat terus bagaimana beliau menahan mobil di tengah jalan hanya agar saya bisa menyeberangkan motor ke jalur kiri.

Empat tahun silam, pertengahan 2014, saya datang melanjutkan sekolah ke Makassar setelah menamatkan SMA. Itu kedatangan ketiga kalinya seingat saya, dimana sebelumnya memang sudah datang waktu masih TK dan SMP. Waktu TK tidak ada yang saya ingat tentang Makassar, begitu juga SMP, ada tapi tidak banyak. Baru setelah lulus SMA, saya benar-benar menyadari bahwa kota memang menakjubkan--begitu juga kesenjangannya.

Sebagai anak pulau yang letaknya paling sudut provinsi Sulawesi Selatan, akses ke Kota Makassar cukup ribet dan menantang. Kami harus menyeberang laut untuk bisa sampai ke Makassar. Belum lagi kalau cuaca tidak mendukung, satu-satunya cara harus menunggu sampai cuaca bersahabat dan merasa yakin untuk menyeberangi lautan.

Waktu dikampung saya tidak terlalu tahu kesenjangan, karena memang orang-orang di sana cukup bisa memenuhi kebutuhan masing-masing. saya juga tidak tahu mana yang di sebut kaya, dan mana yang miskin. Satu-satunya ukuran kekayaan seseorang, seingat saya waktu di kampung, saat ada yang tiap hari makannya ayam terus; anak pulau terlalu familiar dengan ikan. Tapi mustahil bisa makan ayam tiap hari di sana, sebab ayam punya arti lain dan berharga di sana; hanya dipotong saat ada acara-acara besar, syukuran, atau ngumpul-ngumpul.

Dengan itu saya merasa ada banyak perbedaan saat tiba ketiga kalinya di Makassar. Makassar, yang notabenenya kota besar, membuat saya menerka-nerka; kok di sini kita harus putar balik jauh sekali untuk mengganti arah kendaraan? Atau dengan perasaan takjub, saat lihat anak-anak di lampu merah memelas di samping mobil mewah, saya berkata, "Wah, mirip yang saya lihat televisi."

Cukup lama untuk saya bisa benar-benar beradaptasi dengan suasana perkotaan dan aturan-aturannya. Meskipun begitu, Paling tidak di sini saya bisa dengan mudah mendapatkan toko-toko buku, perpustakaan, dan banyak hal yang bisa saya jadikan pelajaran hidup; dimana hal inilah yang membuat saya tidak serta merta jadi menusia urban.

Tentu saja saya tidak bermaksud menolak jadi manusia urban, hanya saja saya harus memilih dan harus merasa cocok untuk itu. Saya dibentuk oleh lingkungan yang mengandalkan alam sekitar, dan menganggap hubungan dengan alam itu penting. Makanya, apapun budaya yang datang pada saya, saya akan menerimanya dan mencoba membenturkan dengan budaya yang membentuk saya sejak kecil, lalu mengambil yang cocok dengan kepribadian saya.

Bahagia dan senang bagi saya, terletak dari hal-hal kecil di dalam dan di luar diri manusia. Manusia boleh saja menghabiskan banyak uang dan tenaga mereka untuk mengejar apapun yang membuatnya (merasa) bahagia. Tapi satu hal yang benar-benar bisa membuat anda tahu esensi sebenarnya dari bahagia; berbagi. Mungkin ada yang pernah merasakan senang yang sama seperti saya; merasa dihargai saat mengucapkan terima kasih ke tukang parkir? Di kota, selain menyimpan banyak kegetiran, ternyata juga sangat bagus untuk membuat orang-orang yang punya pikiran selalu waras. Paling tidak menjaga diri tidak gila.

Comments

Popular Posts