Berapa Persen Orang Berubah karena Kritik?

Ini berawal dari tadi saat saya diskusi ringan sama teman-teman sekelas; ibu Herawanti dan bapak Idam Lutfi. Mulanya cuma mau pergi bayar spp, tapi tidak jadi karena bank sedang tidak bisa akses. Akhirnya jadilah kami singgah di kost ibu Hera, melingkar di teras, dan juga minum kopi kap yang di beli oleh tamu.

Pertama-tama pembahasan masih seputar arisan, dan kenyataan bahwa antara kebiasaan di daerah saya dan daerah ibu-bapak ini benar-benar beda. Sistem arisan yang dipakai daerah saya ada yang disebut lelang, berbeda dengan masing-masing daerah ibu-bapak ini yang sama-sama tidak pakai dan bahkan tidak tahu sistem lelang.

Terus pembahasan jadi lebih serius saat cerita kami menyentuh ranah yang sensitif, bisa dibilang masuk ilmu psikologi.

"Kita tidak bakal selesai sama diri sendiri; rasa dengki, kikir, dan sombong susah untuk bisa kita hilangkan. Kalo ada, dan sudah selesai dengan dirinya sendiri, ia baru bisa menilai ataupun mengkritik baik-buruknya orang lain." Kataku agak serius.

 "Masa? Saya tidak berpikir itu mungkin." Kata Ibu Hera.

Bapak Idham untuk sementara cuma diam, tanda bahwa ia belum menentukan harus setuju ke siapa.

 "Jadi kau mau bilang sudah selesai sama diri sendiri?" Saya bertanya.

"Tidak. Bukan itu maksud saya. Maksud saya, kritik itu bagus agar orang lain mau berubah. Asal saja, caranya disampaikan halus dan harus dengan sopan." Kata Ibu Hera sambil menyentuh ujung jilbabnya, seakan-akan itu jadi penghalang untuk dia bisa berfikir lebih jelas.

"Saya pikir kalo kita kritik orang, meski caranya halus dan sopan, tidak besar kemungkinan orang itu mau berubah. Okelah. Katakan dari seratus persen, kira-kira berapa kemungkinan menurutmu orang itu berubah?"

"Tujuh puluh persen!!" Seru ibu Hera.

"Bagaimana dengan yang tiga puluh persen? Mungkin saja di tiga puluh persennya orang itu tersinggung. Bisa jadi, kan?"

"Tapi kan tujuh puluh persen sudah cukup untuk orang itu berubah. Ya, minimal dia sudah ada yang diambil dari kritikan kita."

"Jadi, orang harus benar-benar bersih hanya supaya bisa mengkritik orang lain." Bapak Idham menambahkan, mengerutkan dahi, memukul lantai dengan telunjuknya beberapa kali, seakan itu memperjelas keberpihakannya.

"Apa kau mau sholat?" Saya bertanya ke ibu Hera.

"Iya."

Bapak Idham buru-buru mengambil kunci motornya di dekat lututnya, melihat ke saya dan menganggukkan kepalanya ke bawah bersamaan dengan matanya.


Tentu saja tidak semua percakapan saya masukkan, mengingat sesuatu dan lain hal. Atau ini bisa juga karena cuma itu yang saya ingat. Tapi apa yang penting dari semuanya? Kenyataan bahwa manusia bisa saling berguru satu sama lain. Dalam banyak hal di kehidupan ini, pro dan kontra diperlukan untuk membuat kita tetap sadar; bahwa tidak ada yang lebih baik dari siapapun, dan mau bagaimanapun, ilmu masing-masing orang sungguh unik dan bervariasi. Tinggal cara kita mau mengambilnya atau sekedar menghargai mereka sebagai guru.

Dari jaman baheula manusia sudah ada diajarkan tentang etika. Tidak cuma dalam berperilaku, tapi juga cara menghargai orang lain. Kita tidak pernah tahu siapa kedepannya yang bakal mengubah paradigma dan cara kita memilih jalan hidup. Emas itu tertanam di dalam tanah atau bahkan lumpur, dan kita harus mampu menggali lebih hanya untuk menemukan bahwa yang kita lakukakan tidak sia-sia.

Bisa saja besok, atau kapanpun, anda bertemu seseorang dan bicara banyak hal tentang bagaimana mencari makna hidup. Atau bahkan anda bisa temukan makna melalui sorot anak kecil yang kelaparan. Saya pikir semesta tidak bakal memberi sesuatu yang tidak berguna sama sekali.

Comments

  1. Jadi sebenarnya gimna....
    Terjawab kah pertanyaan anda..?

    ReplyDelete
  2. Jadi sebenarnya gimna....
    Terjawab kah pertanyaan anda..?

    ReplyDelete
  3. Jawabanya sesuai interpretasi pembaca. Terimakasih atas kunjungannya, teman sekelas. Heehee

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts