Cerita

Cerita bisa datang dari mana saja, tapi pemintal cerita yang menarik, ketika banyak pertentangan di dalamnya.

Waktu maba saya salah satu orang yang suka mempertanyakan tentang Tuhan. Di masa awal-awal kuliah saya bahkan bertanya--di mata kuliah pengantar ekonomi--dimana campur tangan tuhan ketika ada yang membunuh, dan saya pikir, ketika itu si pembunuh cuma jadi media untuk mengambil nyawa korban. Saya merasa Tuhan tidak bisa menolong korban ketika itu.

Memasuki semester tiga saya banyak mengutip kata-kata Jostein Gaarder, tanpa sedikitpun membaca novelnya, hanya untuk mengukuhkan rasa sombong yang sulit dibendung. Saya mengutip tentang penciptaan adam, dan banyak lagi kutipan yang seolah-olah mencari kesalahan dan kelemahan tuhan. Di tokoh islam ketika itu, saya mengidolakan syekh Siti Jenar dengan pegangan satu-satunya yang saya tahu tentang beliau, Manunggaling Kawula Gusti dan tidak tahu maknanya apa.

Antara semester empat memasuki semester lima, saya mulai ikut pelatihan dasar salah satu organisasi islam (tapi tidak aktif), dan di sana saya dapat banyak referensi buku bacaan, juga awal dimana saya mulai melirik-lirik buku. Buku pertama yang saya beli, seminggu setelah pelatihan, Zaratustra karya Friedrich Niesztche. Berangsur-angsur dan secara bergantian tiap bulannya, saya beli Buku Bertuhan Tanpa Agamanya Betrand Russel, dll. Begitu seterusnya, minimal ada satu buku saya beli dalam satu bulan.

Tapi sekarang saya makin malas membaca, sampai-sampai buku yang saya beli beberapa bulan yang lalu, sudah bisa ditulis nama kita diatas debu-debunya. Saya rasa dulu waktu beli buku-buku ini, saya pikir akan bisa menyelesaikannya dengan cepat dan bisa capai minimal tiga buku dalam satu bulan. Tapi nyatanya membaca tidak semudah memasukan makanan ke dalam mulut. Banyak sekali hal-hal yang bisa menghalangi kita membaca meski membaca cuma di butuhkan beberapa menit atau beberapa jam saja.

Sampai sekarang saya tidak tahu kenapa saya harus membaca. Saya cuma percaya satu hal, meski sudah agak malas, saya perlu membaca, dan setidaknya ada waktu tiga jam dalam satu minggu saya pakai untuk membaca. Paling tidak dengan membaca saya bisa dapat banyak hal yang belum saya tahu sebelumnya, dengan kata lain, saya bisa mulai berfikir dan tidak hanya berfikir tentang hal yang itu-itu saja.

Saya bukan orang yang punya banyak prestasi sejak kecil. Bisa dikatakan saya terlalu bodoh bahkan untuk bisa dapat rangking sepuluh besar di kelas. Saya sadar saya bodoh, dan dengan itu saya pikir harus selalu belajar biar sedikit, asal cukup untuk menambal lubang-lubang besar di otak saya, yang saya tidak tambal waktu kecil dulu.

Dulu waktu saya memang banyak dihabiskan untuk bermain. Satu-satunya waktu untuk membaca, ketika SD sampai SMA, saat dimana guru menyuruh kami membaca buku cetak di kelas, dan itupun secara bergantian. Apalagi perpustakaan, sangat jarang saya datangi. Makanya tidak banyak waktu untuk mengisi otak dengan hal-hal yang berbau bacaan. Hitungan adalah musuh terbesar saya.

Makanya ketika mulai mengenal dunia baca membaca, saya pikir alam mulai melirik saya, tapi nyatanya sekarang, saya malah merasa alam perlahan-lahan meninggalkan saya yang masih belum sempat menambal sepenuhnya otak saya. Saya mulai malas lagi membaca.

Ini karena tidak ada lagi pemintal cerita menarik, yang bisa merangsang minat baca saya temukan dimanapun, bahkan di kampus. Kampus harusnya jadi pusat dimana hal-hal baru di telurkan, bukan malah jadi warisan ilmu-ilmu lama diberikan turun-temurun. Tiap tahun ada banyak yang masuk jadi maba, lalu menerima ilmu sama seperti maba sebelumnya. Begitu seterusnya sampai sekarang.

Comments

Popular Posts