Penulis Besar dan Proses Kreatif Mereka; Dilema jadi Pemula

Selesai baca novel 'Seratus Tahun Kesunyian' karya Gabriel Garcia Marques, saya lanjut baca novel 'sidang' milik Franz Kafka. Sebelum membuka lembaran pertama novel 'sidang', pertama-tama saya baca buku tipis yang dibungkus dalam satu plastik dengan novel 'Sidang'; judulnya Aforisme Zarau. Lebih lanjut, 'Aforisme Zarau' berisi kumpulan qoute Franz Kafka (mungkin) selama perenungan di Zarau, di pedesaan Bohemian, di rumah adik perempuannya Ottla; antara september 1917 dan April 1918; dimana sebulan sebelumnya ia dinyatakan terkena penyakit TBC.

Bicara tentang penulis besar dan karya-karya besar mereka, selalu muncul satu pertanyaan dibenak saya; apa yang mereka lakukan untuk menciptkan tulisan bagus, dan penuh makna seperti ini? Haruskah lingkungan sekitar kita pelik seperti suasana dalam karya marques, atau harus terkena penyakit seperti Kafka? Mungkinkah inspirasi besar datang saat tubuh benar-benar tidak bisa menahan siksaan?

Ketika membaca bab pertama novel sidang, saya tidak tahu kenapa, tapi ini belum cukup buat saya terkesima. Saya lebih terkesima dan bisa menangkap makna paling dalam, malah saat baca surat Kafka yang ditujukan ke temannya pada waktu-waktu terakhir beliau di Zarau. Seakan setiap kalimat surat-suratnya, bagi saya, seperti air dalam cangkir bening yang tetesi formula mujarab untuk menyembuhkan semua penyakit. Selain itu, saya juga lebih bisa menangkap rasa disana; sedih, kecewa, putus asa, dan yang paling pasti, harapan.

 "Kau punya kesempatan, jika pernah ada satu, untuk memulai lagi. Jangan sia-siakan." tulis Kafka dalam suratnya.

Entah kenapa, setiap penulis besar selalu bisa membuat kita bertanya proses kreatif mereka dalam menulis. Dan parahnya, kita tidak pernah tahu meski sisi terdalam dari makna yang mereka sampaikan, kita gali sampai pikiran gila sekalipun. Kita selalu dihadapkan pada kenyataan bahwa kita tidak akan pernah bisa seperti mereka.

Bahkan saat mau mengikuti gaya dan proses kreatif penulis-penulis besar itu, kita selalu nampak bodoh dan terkesan tidak jujur sama sekali. Semacam ada kode-kode rahasia, tapi kita tidak tahu apa kode rahasia itu. Semacam resep rahasia masakan ibu kita, dan kita hanya tahu bahwa masakan itu enak. Sangat sulit menangkap misteri dibaliknya.

Saya bahkan dibuat merinding membaca kalimat terakhir novel 'Seratus Tahun Kesunyian', dan satu-satunya kalimat yang keluar di mulut saya selesai membacanya, "Ini sungguh liar dan luar biasa." Tidak ada yang lain. Juga saat baca 'Aforisme Zarau' dan surat Kafka, saya sadar 'makna' sebenarnya datang dari hal-hal kecil di sekitar kita. Sayangnya, ini tidak semudah  berteriak lalu semua orang bisa mendengarkan. Cukup sulit untuk menerapkannya.

Berkali-kali saya coba tapi selalu menemukan jalan buntu. Banyak sekali halangan, dan salah satunya, mau terlihat indah. Semakin berusaha memperindah kalimat-kalimat tulisan, saya semakin merasa menemukan kalimat terjelek di dunia. Saya jadi tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya, paling jalan satu-satunya yang bisa diambil hanya menghapus, berkali-kali sampai saya tidak punya mood melanjutkan lagi tulisan itu.

Pada akhirnya memang kita tidak bisa dan tidak harus sama seperti penulis yang sudah besar, karena satu-satunya jalan hanya dengan terus menulis sampai benar-benar tahu ciri khas kita dalam menulis.

Comments

Popular Posts